Pemberontakan Rakyat Pati: Sebuah Pembuktian, Masihkah Rakyat Berkuasa? atau Sekadar Alat Mendulang Suara

Source: Dok. Ig @patisakpore

infomjlk.id — Mengutip pernyataan filsuf urban, Neneng Rosdiyana. Pati adalah kunci, jika rakyat Pati berhasil menurunkan si raja kecil dari singgasananya, maka itu akan menjadi rambu kuning buat pejabat-pejabat lain agar lebih berhati-hati dengan jabatan dan kebijakannya. Namun, jika rakyat Pati gagal, yang terjadi adalah sebaliknya. Para pejabat akan lebih arogan dan semau sendiri dalam setiap kebijakannya. 


Pati adalah barometer sekaligus pembuktian, masihkah rakyat berkuasa? Atau hanya sekadar pelengkap untuk mendulang suara. 


Pemberontakan rakyat Pati, bermula dari Bupati Sudewo yang dianggap gagal memimpin. Kasus ini, pada dasarnya bukan cuma soal pajak yang dipermasalahkan, tapi soal demokrasi yang dibajak dan hukum yang melayani kekuasaan. Massa akhirnya dengan sadar menuntutnya mundur dari jabatan. 


"Rakyat hanya pelengkap untuk mendulang suara", kalimat ini terasa akrab. Begitulah demokrasi berjalan di banyak daerah! Rakyat diundang saat pesat, ditinggalkan saat kenyang. 


Faktanya, demokrasi di Indonesia kerap dibajak oleh para pemilik modal dan penguasa daerah. Hasilnya, kebijakan yang ada lebih menguntungkan jaringan kekuasaan daripada rakyatnya. 


Seringkali hukum dibentuk bukan untuk kepentingan rakyat, tapi untuk mengamankan kepentingan politik. Aksi di Pati mengingatkan kita bahwa tanpa pengawasan rakyat, hukum bisa jadi senjata penguasa, bukan pelindung warga. 


"Raja-raja kecil" seperti Bupati Pati ini bukan anomali. Mereka produk dari sistem yang memungkinkan kekuasaan dibeli, dijaga, lalu dipakai merampok sumber daya.

Post a Comment

0 Comments