Source: Pinterest
infomjlk.id — Perlu baraya ketahui, pertunjukan wayang golek, sebagai salah satu kesenian Sunda, ternyata lebih dari sekadar hiburan. Di balik kelincahan tokoh-tokoh ikonik seperti Cepot dan Dawala, seni ini menyimpan sejarah panjang dan mitos yang mengakar kuat. Dulunya, wayang golek merupakan bagian dari ritual spiritual masyarakat Sunda, yang berfungsi sebagai media dakwah, pendidikan moral, dan kritik sosial.
Sejak kemunculannya pada abad ke-18, wayang golek beradaptasi dari wayang kulit Jawa menjadi boneka tiga dimensi, membawa kisah-kisah epos Ramayana dan Mahabharata dalam balutan humor khas Sunda. Dalang bukan hanya pencerita, melainkan juga seorang seniman, filsuf, dan pusat pertunjukan yang berlangsung semalam suntuk.
Namun, di balik keindahan dan filosofinya, ada mitos yang dipercaya turun-temurun; menonton wayang golek tidak boleh setengah jalan. Mitos ini meyakini bahwa keluar sebelum pertunjukan selesai bisa mendatangkan kesialan. Alasannya, pertunjukan wayang dianggap sebagai ruang sakral di mana dunia manusia dan alam gaib bertemu. Meninggalkan ruang ini sebelum selesai “disucikan” dipercaya dapat mengundang hal buruk.
Kini, di tengah gempuran hiburan modern, wayang golek menghadapi tantangan besar. Durasi panjang dan bahasa Sunda klasik yang kurang dipahami generasi muda membuat penontonnya semakin berkurang.
Meski begitu, upaya revitalisasi terus dilakukan. Komunitas dan dalang muda mulai beradaptasi dengan era digital, menayangkan pertunjukan di YouTube dan menyederhanakan cerita agar tetap relevan.
Wayang golek mungkin tidak lagi disaksikan semalam suntuk seperti dulu. Namun, warisan sejarah, mitos, dan nilai-nilai yang dibawanya tetap menjadi cermin dari identitas budaya Sunda yang tak lekang oleh waktu. Selama ceritanya terus dihidupkan, esensi dari wayang golek tidak akan pernah padam.
0 Comments