Kukira Bernadya, Ternyata Kisah Nyata; Kukira Lagu, Ternyata Kisah Cintaku! Alasan Mengapa Banyak Orang Mendengarkan Bernadya

Source: Ilustrasi / Dok. Ig @bernadyaribka

infomjlk.id — Bernadya berhasil meramu album "Sialnya, Hidup Harus Tetap Berjalan," sebagai cerminan nyata dari perjalanan patah hati yang universal. Dirilis pada 24 Juni 2024, album ini dengan cerdik membagi delapan lagunya ke dalam tiga fase emosional: Heartbreak, Self Doubt, dan Realization. Pendekatan ini membuat pendengar merasa terhubung secara personal, seolah lirik-lirik Bernadya adalah kisah cinta mereka sendiri yang kandas. 


Fenomena ini diperkuat dengan testimoni warganet seperti "kukira lagu, ternyata kisah cintaku," menunjukkan kepiawaian Bernadya dalam menangkap berbagai nuansa emosi—mulai dari pengorbanan sia-sia, keraguan, hingga penerimaan. Kemampuan Bernadya merangkai lirik yang lugas, ditambah aransemen musik apik dari Petra Sihombing dan Rendy Pandugo, menjadikan album ini representasi otentik bagi mereka yang hatinya sedang terluka. 



Namun, popularitas album ini juga menyoroti urgensi akan "cuti patah hati." Patah hati bukan sekadar urusan personal; dampak psikologis dan fisik yang ditimbulkannya, mulai dari perubahan nafsu makan hingga depresi klinis, seringkali diabaikan. Ironisnya, di tengah kondisi rentan ini, para pekerja kerap dituntut untuk tetap profesional, menyembunyikan luka demi produktivitas. 


Berbeda dengan Indonesia yang justru melonggarkan aturan cuti bagi pekerja melalui Perppu Ciptaker, perusahaan ritel Pang Dong Lai di Tiongkok menerapkan kebijakan inovatif "The Unleave Happy" yang memberikan 10 hari cuti tambahan bagi karyawan yang tidak bahagia. Langkah Yu Dong Lai, pendiri perusahaan, menekankan pentingnya kesehatan mental karyawan, sebuah kontras mencolok dengan budaya kerja "996" yang kejam di Tiongkok. 


Wacana cuti patah hati mungkin terdengar utopis di tengah maskulinitas sosial dan mentalitas perusahaan yang hanya berorientasi profit. Komentar seperti "lebay" atau "jangan cengeng" masih sering terdengar, menambah beban emosional bagi mereka yang sedang berjuang. Padahal, setiap individu membutuhkan waktu untuk pulih, menepi sejenak, dan mencari dukungan. 


Pada akhirnya, album Bernadya mengajarkan kita bahwa patah hati adalah persoalan politis yang membutuhkan pengakuan dan dukungan sistematis. Seperti halnya penyakit fisik, luka emosional juga membutuhkan waktu dan ruang untuk sembuh. Mendengungkan wacana cuti patah hati di setiap lini kehidupan—dari tempat kerja hingga lingkungan sosial—adalah langkah krusial untuk memastikan setiap individu berhak atas kesehatan jiwa dan raga. Luka kita valid, dan perjuangan untuk sembuh dari patah hati harus menjadi agenda bersama.



Post a Comment

0 Comments