infomjlk.id — Kabupaten Majalengka, yang kini dikenal tanpa satu pun bioskop modern, ternyata pernah menjadi pusat hiburan sinematik yang gemilang. Antara tahun 1950-an hingga 2000-an, "Kota Angin" ini dipenuhi dengan deretan bioskop yang ramai dikunjungi, jauh berbeda dengan kondisi saat ini. Sejarawan lokal dan Ketua Grup Madjalengka Baheula (Grumala), Nana Rohmana, atau akrab disapa Naro, mengungkap bagaimana bioskop-bioskop ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Majalengka di masa lalu.
Hollywood Menjadi Pionir, Istana Bintang Lahir dari Gejolak Politik
Menurut Naro, bioskop pertama yang berdiri kokoh di Majalengka adalah Hollywood, dibangun pada tahun 1953 di Jalan KH Abdul Halim. Bioskop swasta ini menjadi favorit penikmat film, khusus menyajikan deretan film impor. Namun, seiring memanasnya iklim politik di era Presiden Soekarno pada tahun 1960-an, nama "Hollywood" yang berbau kebarat-baratan pun terpaksa diganti. Jadilah Istana Bintang lahir, menjadi simbol ketahanan hiburan di tengah perubahan zaman.
Istana Bintang tak hanya bertahan, namun justru kian populer, memicu menjamurnya bioskop-bioskop lain di Majalengka. "Dulu memang bioskop di Majalengka banyak. Mungkin zaman dulu orang yang punya uang membuatnya bioskop," kenang Naro, memberikan gambaran betapa menjanjikannya bisnis ini kala itu.
Konsep Unik "Misbar" dan Persaingan Ketat di Dunia Perfilman
Tahun 1970-an menjadi saksi bisu kemunculan bioskop-bioskop kecil lainnya, termasuk Taman Bintang yang berlokasi di atas bunker Goa Jepang, Tonjong. Uniknya, beberapa bioskop di Majalengka mengusung konsep terbuka, atau yang populer disebut "Misbar" (Gerimis Bubar).
"Bangunannya itu dibenteng, tapi tidak ada atapnya. Jadi kalau ada hujan, sudah langsung pada bubar, disebut Misbar," cerita Naro, menggambarkan pengalaman menonton film yang tak biasa dan penuh canda tawa. Bioskop Misbar lain juga pernah hadir di depan BRI kota Majalengka.
Persaingan di industri perfilman lokal pun tak kalah sengit. Bioskop Garuda bahkan memiliki cabang di Kadipaten dan Majalengka Kota, termasuk Garuda II yang kini telah bertransformasi menjadi toko Mulawarman. Puncaknya, pada tahun 1987, kemunculan bioskop "mewah" Galaxy di dekat Pujasera mengubah peta persaingan. Dengan Studio 1 dan Studio 2, Galaxy berhasil menarik perhatian penonton yang mencari pengalaman sinematik lebih modern, bahkan membuat bioskop-bioskop lama seperti Garuda II meredup.
Kenangan yang Terukir dan Harga Tiket yang Kini Tinggal Sejarah
Kini, bangunan-bangunan bioskop itu sebagian besar telah dibongkar atau beralih fungsi. Namun, kenangan akan era keemasan bioskop di Majalengka tetap hidup dalam ingatan masyarakat. Beberapa bangunan masih berdiri, seperti bekas Bioskop Istana Bintang yang masih menyimpan layar, kursi, dan bahkan tulisan namanya.
Naro juga menceritakan betapa terjangkaunya harga tiket bioskop di masa itu. Dengan harga mulai dari Rp100 hingga Rp1.000, menonton film adalah hiburan yang bisa dinikmati semua kalangan. "Dulu paling mahal bayar Rp1.000. Ada yang Rp250 perak, Rp500 perak. Kadang ada juga yang Rp100 perak, itu bisa bawa 2 orang, sampai 3 orang. Akhirnya muncul istilah Tustai (seratus ngantai)," pungkas Naro, mengakhiri kisah kejayaan sinema di Majalengka yang kini hanya tersisa dalam balutan nostalgia.
0 Comments