Hindia, Feast, & Lomba Sihir Ditolak Manggung di Tasikmalaya: Dituduh Satanis! Bagaimana Kalau di Majalengka?

Source: Dok. Ig @teamhindia

infomjlk.id — Tiga proyek musik populer yang digawangi oleh Baskara Putra, yaitu Hindia, Feast, dan Lomba Sihir, dipastikan batal tampil dalam festival Ruang Bermusik 2025 di Kota Tasikmalaya. Keputusan pahit ini diambil setelah festival yang sedianya digelar di Lapangan Udara Wiriadinata pada 19 dan 20 Juli 2025 itu menghadapi penolakan keras dari sejumlah organisasi masyarakat (ormas) Islam setempat. 


Pembatalan ini dipicu oleh tudingan bahwa penampilan panggung Baskara Putra, khususnya sebagai Hindia, membawa simbol dan narasi yang dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai syariat Islam dan berbau satanik. Aliansi Aktivis dan Masyarakat Muslim Tasikmalaya (Al-Mumtaz) menjadi salah satu pihak yang vokal menyuarakan penolakan tersebut. 


Ketua Al-Mumtaz Tasikmalaya, Ustaz Hilmi Afwan, menegaskan bahwa keberatan mereka tidak tertuju pada acara konser secara umum, melainkan secara spesifik pada Hindia yang dinilai kerap menggunakan simbol-simbol yang melanggar norma agama. Isu satanisme yang melekat pada Hindia sendiri mulai ramai diperbincangkan di media sosial sejak konser tunggalnya pada akhir 2023. 


Tudingan tersebut muncul terkait penggunaan properti panggung berupa patung dan lirik lagu yang dinilai kontroversial oleh sebagian kalangan. Baskara Putra sebetulnya telah memberikan klarifikasi bahwa elemen-elemen tersebut merupakan bagian dari konsep estetika pertunjukan dan tidak dimaksudkan untuk menyebarkan ajaran tertentu. 


Namun, demi kelancaran acara dan menyikapi tekanan yang datang, pihak penyelenggara Ruang Bermusik akhirnya membatalkan penampilan ketiga grup musik tersebut. Pembatalan ini diumumkan secara resmi melalui akun Instagram mereka pada Rabu, 16 Juli 2025, disertai permohonan maaf atas keputusan tersebut. 


Bagaimana Jika Fenomena Serupa Terjadi di Majalengka


Insiden di Tasikmalaya ini menimbulkan pertanyaan penting: mungkinkah fenomena serupa, di mana seniman atau acara musik ditolak karena alasan sensitivitas agama atau budaya, terjadi di daerah lain, misalnya di Majalengka? 


Majalengka, seperti banyak wilayah di Jawa Barat, memiliki basis masyarakat yang religius dan menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan serta adat istiadat. Konservatisme sosial dan keagamaan bukanlah hal asing. Oleh karena itu, potensi penolakan terhadap konten hiburan yang dianggap "menyimpang" atau "tidak sesuai norma" sangat mungkin terjadi. 


Faktor-faktor yang dapat memicu penolakan di Majalengka bisa jadi serupa dengan kasus Tasikmalaya, antara lain: 


- Interpretasi Simbol dan Lirik: Konten artistik yang bersifat metaforis atau abstrak, seperti properti panggung dan lirik lagu, rentan disalahpahami atau diinterpretasikan secara harfiah oleh kelompok masyarakat tertentu sebagai simbol yang bertentangan dengan ajaran agama.

- Peran Organisasi Masyarakat: Organisasi masyarakat (ormas), terutama yang berbasis keagamaan, memiliki pengaruh signifikan dalam opini publik dan dapat menjadi motor penggerak penolakan jika mereka merasa nilai-nilai yang diyakini terancam.

- Sentimen Media Sosial: Informasi, baik benar maupun salah, dapat menyebar dengan cepat melalui media sosial dan memicu reaksi massa. Isu yang digoreng di platform digital dapat dengan mudah mengamplifikasi tudingan dan memperkuat desakan penolakan.

- Tekanan Terhadap Penyelenggara: Penyelenggara acara seringkali berada di posisi sulit. Demi menjaga keamanan dan kelancaran acara, mereka mungkin terpaksa mengorbankan sebagian susunan acara atau bahkan membatalkan seluruhnya jika tekanan dari kelompok penolak terlalu besar. 


Untuk menghindari insiden serupa, penyelenggara acara di Majalengka perlu melakukan kajian mendalam terhadap potensi respons masyarakat dan ormas setempat terhadap artis atau konten yang akan ditampilkan. 


Komunikasi awal dengan tokoh masyarakat atau perwakilan ormas dapat menjadi langkah proaktif untuk menjelaskan konsep acara dan membangun pemahaman, meskipun tidak ada jaminan penolakan tidak akan terjadi. 


Pada akhirnya, kasus Tasikmalaya menjadi pengingat bagi industri hiburan di Indonesia akan pentingnya memahami dinamika sosial dan budaya di setiap daerah, serta mencari keseimbangan antara kebebasan berekspresi artistik dan sensitivitas nilai-nilai lokal. 

Post a Comment

0 Comments