Patanjala: Pandangan Hidup Leluhur Sunda yang Mengintegrasikan Manusia dengan Alam

Source: Ilustrasi / Dok. Pikiran Rakyat, Wikipedia

infomjlk.id — Jauh sebelum konsep modern tentang pengelolaan lingkungan terpadu berkembang, leluhur Sunda di tatar Pasundan telah memiliki sistem kearifan lokal yang mendalam dan komprehensif untuk menjaga keseimbangan alam, khususnya ekosistem sungai. Konsep ini dikenal sebagai "Patanjala," sebuah filosofi yang terpatri dalam naskah-naskah kuno dan praktik hidup sehari-hari masyarakat Sunda sejak sekitar abad ke-13. Patanjala bukan sekadar metode, melainkan sebuah pandangan hidup yang mengintegrasikan manusia dengan alam, mengajarkan tanggung jawab dan keselarasan dalam memanfaatkan sumber daya. 


Patanjala, Filosofi Air dan Aliran Sungai yang Mengalir Abadi dalam Kehidupan 


Nama "Patanjala" sendiri memiliki makna filosofis yang dalam dan cenderung esoteris. "Patan" berarti air, elemen vital yang menjadi sumber kehidupan, sementara "jala" mengacu pada sungai atau area yang harus dijaga sebagai kabuyutan, yaitu tempat yang disakralkan atau memiliki nilai luhur bagi para leluhur. Dengan demikian, Patanjala secara harfiah dapat diartikan sebagai "air sungai yang tiada henti mengalir mengikuti alur yang dilaluinya hingga ke muara." Makna yang lebih luas dari konsep ini adalah ajaran tentang kesadaran ruang (ke-wilayah-an) sebagai pijakan strategis dalam menentukan kebijakan pengelolaan lingkungan. Ini mencerminkan pemahaman holistik tentang Daerah Aliran Sungai (DAS), di mana sungai dipandang sebagai satu kesatuan utuh yang terintegrasi dari hulu, tengah, hingga hilir, mencakup daratan dan bahkan lautan yang menjadi muaranya. 


Konsep pengelolaan wilayah secara utuh, terintegrasi, dan terpadu ini menjadi fondasi bagi setiap upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup. Seperti halnya karakteristik air sungai yang terus mengalir dan menebar manfaat tanpa henti, Patanjala mengajarkan manusia untuk senantiasa bekerja dan berbuat kebajikan, serta fokus pada cita-citanya demi keberlangsungan hidup yang lestari. 


Tercatat dalam Naskah Amanat Galunggung (Kropak 632) 


Kearifan Patanjala ini tercatat dalam salah satu naskah kuno paling berharga dari Sunda, yaitu Naskah Amanat Galunggung atau yang juga dikenal sebagai Kropak 632. Naskah ini merupakan salah satu manuskrip tertua di Indonesia, ditulis pada daun lontar dan nipah sekitar abad ke-13 hingga ke-15, menggunakan bahasa dan aksara Sunda kuno. Keberadaannya bahkan mendahului naskah-naskah penting lainnya seperti Sanghyang Siksakandang Karesian (1518 M) dan Carita Parahyangan (1580 M), yang menunjukkan kedalaman ilmu pengetahuan peradaban Sunda. 


Naskah Amanat Galunggung bukanlah sekadar teks biasa; ia berisi kumpulan nasihat etika dan budi pekerti yang diwariskan oleh Rakyan Darmasiksa, Raja Sunda ke-25, kepada putranya. Pesan-pesan dalam naskah ini sangat relevan dengan praktik konservasi dan pengelolaan lingkungan. Salah satu nasihat yang secara eksplisit menyebutkan Patanjala berbunyi: 


"Kita semestinya meniru wujud patanjala, pata yang berarti air, dan jala yang berarti sungai. Tak akan sia-sia amal baik kita, apabila meniru sungai itu." 


Kalimat ini mengandung pesan moral yang kuat, mengajak manusia untuk meneladani sifat-sifat sungai yang mengalir tanpa henti, memberi kehidupan, membersihkan diri, dan terus bergerak maju. 


Lebih dari itu, Amanat Galunggung juga memuat filosofi keberlanjutan yang terkenal: 


"Hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke" (ada dahulu ada sekarang; bila tidak ada dahulu tidak akan ada sekarang). 


Ungkapan ini mengajarkan pentingnya kesadaran sejarah dan tanggung jawab terhadap warisan leluhur. Kehidupan saat ini adalah hasil dari upaya generasi sebelumnya, dan menjaga alam adalah bentuk bakti demi keberlangsungan generasi mendatang. Filosofi Patanjala adalah perwujudan konkret dari prinsip ini, memastikan sumber daya alam, khususnya air dan sungai, tetap lestari sebagai warisan tak ternilai. 


Pangauban, Simbol Kebersamaan dan Batas Wilayah Hidup 


Dalam kosmologi Sunda, terutama pada masyarakat Kanekes (Baduy), konsep Patanjala sangat erat kaitannya dengan "Gunung Pangauban." Gunung ini melambangkan kesatuan komunal (kanagaraan-kabalareaan-kebersamaan), yang menunjukkan bagaimana masyarakat Sunda tradisional menjunjung tinggi nilai kolektif dan kebersamaan. Sementara itu, Pangauban juga merujuk pada batas wilayah yang ditentukan oleh keberadaan sungai atau air. Ini menunjukkan bahwa tatanan sosial dan teritorial masyarakat Sunda secara inheren terikat pada kondisi hidrologis dan geografis lingkungan mereka. 


Pangauban sebagai konsep spasial dan sosial menekankan bahwa kesejahteraan komunitas tidak dapat dipisahkan dari kesehatan lingkungan, khususnya sumber air. Wilayah yang dibatasi oleh sungai atau sistem air menjadi pangauban atau tempat bernaung dan berlindung bagi seluruh masyarakat, sekaligus menjadi identitas komunal yang harus dijaga bersama. Konsep ini mendorong masyarakat untuk memiliki kesadaran kolektif terhadap kelestarian daerah aliran sungai mereka. 


Tiga Kawasan Hutan, Fondasi Konservasi Ekologis Sunda Kuno 


Patanjala juga terwujud secara praktik melalui sistem konservasi hutan yang canggih, jauh mendahului konsep-konsep modern seperti zona inti, penyangga, dan pemanfaatan. Leluhur Sunda membagi kawasan hutan menjadi tiga zona utama, yang disebut leuweung larangan, leuweung tutupan, dan leuweung/lahan baladahan. Pembagian ini bukan hanya tentang pemanfaatan, melainkan strategi jitu untuk menjaga keseimbangan ekologis dari hulu hingga hilir. 


‐ Leuweung Larangan (Hutan Terlarang/Zona Sakral) 


Ini adalah zona paling inti dan suci. Leuweung larangan adalah jantung dari ekosistem pegunungan, tempat sumber-sumber air bermula. Di sini, pepohonan dibiarkan tumbuh menjulang tanpa gangguan, dan satwa liar berkeliaran bebas. Masyarakat dilarang keras untuk menebang pohon, berburu, atau bahkan menyentuhnya. Filosofinya jelas; bila jantung ini rusak, nadi kehidupan (sumber air) akan berhenti mengalir. Leuweung larangan berfungsi sebagai area penyerapan air utama, menjamin ketersediaan air bersih bagi seluruh sistem di bawahnya. 


- Leuweung Tutupan (Hutan Lindung/Zona Penyangga) 


Kawasan ini berfungsi sebagai sabuk hijau atau zona penyangga antara leuweung larangan dan area pemanfaatan. Di leuweung tutupan, reboisasi alami berlangsung, dan masyarakat diperbolehkan mengambil sumber daya secara terbatas dan bijak, seperti ranting kering untuk kayu bakar atau daun untuk pupuk, tetapi tanpa merusak ekosistem. Ini adalah "pagar hidup" yang menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kelestarian alam, sekaligus menjadi penyangga serapan air dan mata air kecil, serta tutupan muara sungai. 


- Leuweung/Lahan Baladahan (Lahan Pertanian/Zona Pemanfaatan) 


Ini adalah zona yang diperuntukkan bagi aktivitas manusia, seperti pertanian, perkebunan, dan permukiman. Leuweung baladahan umumnya terletak di bagian paling bawah, datar, dan memiliki lahan yang luas. Namun, pemanfaatan di zona ini tetap dalam batas-batas yang diatur, tidak boleh melewati leuweung tutupan, apalagi leuweung larangan. Konsep ini menanamkan rasa hormat kepada gunung dan alam, mengajarkan bahwa hanya area yang tepat yang boleh dikelola dan diolah untuk menopang kehidupan. Ini mencerminkan konsep tata wilayah yang memastikan pemanfaatan lahan dilakukan di tempat yang sesuai, dengan area di ketinggian teratas (hulu) sepenuhnya menjadi hak alam. 


Patanjala dan Relevansinya di Era Modern 


Konsep Patanjala, dengan segala lapis kearifan lokalnya, menawarkan pelajaran berharga bagi pengelolaan lingkungan di era modern. Ia mengajarkan bahwa pengelolaan sungai dan sumber daya air tidak bisa dilakukan secara parsial, melainkan harus terpadu dan melibatkan seluruh elemen ekosistem serta masyarakat. Patanjala adalah cerminan dari pendekatan tata wayah (pengaturan waktu pemanfaatan alam) dan tata lampah (perilaku masyarakat menghadapi bencana), yang semuanya berakar pada harmoni dan keseimbangan. 


Selain itu, kearifan Sunda juga mengenal praktik lebak caian, di mana air harus dialirkan secara adil kepada pihak-pihak di bawah yang membutuhkan, dengan pengaturan oleh mantri cai atau ulu-ulu. Ada pula legok balongan, sistem budidaya ikan tradisional yang juga berfungsi ekologis sebagai penampung air. Semua praktik ini menunjukkan betapa mendalamnya pemahaman leluhur Sunda tentang siklus hidrologi dan pentingnya menjaga keseimbangan alam. 


Patanjala mengajarkan kita bahwa sungai bukanlah sekadar saluran air, melainkan urat nadi kehidupan yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Ini adalah warisan tak ternilai yang menekankan pentingnya keselarasan antara manusia dan alam, sebuah prinsip yang sangat relevan untuk menghadapi tantangan lingkungan global saat ini. Dengan kembali pada laku Patanjala, kita tidak hanya melestarikan budaya, tetapi juga membangun masa depan yang berkelanjutan bagi generasi mendatang.

Post a Comment

0 Comments