BIJB Kertajati Majalengka Masih Saja Sepi, Ini Alasannya Menurut Pakar Transportasi ITB

Source: Ilustrasi / Dok. Radar Cirebon

infomjlk.id — Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati, Majalengka kembali menjadi sorotan. Sepinya aktivitas penerbangan di bandara ini mengundang tanggapan dari pakar transportasi Institut Teknologi Bandung (ITB), Sony Sulaksono. Pernyataan Sony juga sekaligus merespons sindiran Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang menganalogikan Bandara Kertajati layaknya 'peuteuy selong' (petai cina yang tidak laku). 

Melansir dari Detik Jabar, menurut Sony, permasalahan mendasar Kertajati tidak hanya berkutat pada fisik bangunan semata, melainkan pada ketiadaan pasar yang jelas. Dalam teori pengembangan bandara, sebuah bandara idealnya dibangun untuk melayani wilayah interland atau area pelayanan tertentu. "Contohnya seperti Soekarno Hatta yang melayani kawasan Jabodetabek, kemudian Husein waktu itu Bandung Raya," jelas Sony. 

Sejak awal, Kertajati digadang-gadang akan mengambil alih peran Bandara Husein Sastranegara di Bandung dan melayani wilayah Jawa Barat bagian timur hingga sebagian Jawa Tengah. Namun, realitanya tidak demikian. "Bandara itu bisnis juga, yang membuka jalur adalah maskapainya dan maskapai bukan bagian pemerintah, dia punya itung-itungan bisnis juga," tegas Sony. 

Kurangnya maskapai yang membuka rute ke Kertajati berbanding lurus dengan minimnya penumpang. Harapan awal agar penumpang dari Bandung beralih ke Kertajati ternyata meleset. "Kenapa bandara Kertajati nggak laku-laku, nggak ada maskapai yang membuka jalur? Ya penumpangnya mana," ungkapnya. 

Alih-alih beralih ke Kertajati, banyak penumpang dari Bandung justru memilih terbang via Jakarta, terlebih dengan hadirnya Kereta Cepat Whoosh yang semakin memudahkan akses. Kondisi ini membuat Kertajati semakin terpuruk. 

Sony menekankan, strategi pengembangan Kertajati seharusnya dimulai dari pertanyaan fundamental: siapa sebenarnya pasar yang ingin dilayani? "Yang paling dekat seperti Majalengka, Cirebon, Subang ada nggak sih penumpangnya, itu dulu yang harus dipikirkan," sarannya. Jika potensi penumpang di wilayah tersebut besar, maskapai kemungkinan akan tertarik. 

Ia juga menyoroti fakta bahwa arus kunjungan ke Jawa Barat sebagian besar masih terpusat di Bandung, menjadikan posisi Kertajati sulit menarik pengguna jasa penerbangan. Wacana menjadikan Kertajati sebagai bandara kargo pun dipertanyakan Sony. "Kalau kargo yang dibawa bisa pakai kereta atau truk, kan lebih murah, ngapain harus pakai pesawat," bebernya. 

Peluang MRO dan Tantangan Aksesibilitas
Meskipun tantangan penerbangan reguler dinilai sangat besar, Sony menyebut wacana menjadikan Kertajati sebagai pusat perawatan pesawat (MRO) cukup masuk akal dan memungkinkan. Saat ini, Kertajati lebih banyak dimanfaatkan untuk pemberangkatan haji dan umroh, yang notabene hanya berlangsung setahun sekali. 

Terkait konektivitas, Sony menegaskan bahwa suatu bandara idealnya terhubung mudah dengan kota-kota besar. Akses dari Majalengka ke Bandung yang memakan waktu sekitar dua jam via tol dinilai masih belum efisien. 

Meski demikian, Sony tetap mendukung semangat Gubernur Dedi Mulyadi untuk mendorong pengembangan kawasan Majalengka dan menjadikan Kertajati sebagai pusat kawasan Rebana (Cirebon, Patimban, Kertajati) serta pengembangan konsep aero city. Hal ini diharapkan dapat turut menumbuhkan pasar penumpang bagi Kertajati.
"Penting sebenarnya apa yang dikatakan KDM, harus bisa mendorong kawasan Majalengka agar tumbuh. Ada konsep aero city di Kertajati itu bisa didorong, kemudian konsep Rebana itu dipusatkan di Kertajati sehingga banyak penerbangan," ujar Sony. 

Terakhir, Sony menegaskan pentingnya pemerintah daerah melobi pemerintah pusat untuk memberikan stimulus atau insentif agar maskapai tertarik membuka rute di Kertajati. Hal ini menjadi kunci untuk menghidupkan bandara yang kini masih sepi.

Post a Comment

0 Comments