Alasan Mengapa Kita Harus Menolak Tambang di Raja Ampat

Source: Istimewa

infomjlk.id — Bayangkan sebuah surga tropis dengan laut sebening kristal, rumah bagi ribuan spesies unik, yang kini berada di ambang kehancuran akibat ambisi tambang. Inilah kenyataan pahit yang sedang mengintai Raja Ampat, mutiara Papua yang sejak lama dipuja dunia sebagai salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati laut terkaya di bumi. 


Pada 3 Juni 2025 lalu, Greenpeace Indonesia bersama empat pemuda Papua melancarkan aksi protes dalam konferensi Indonesia Critical Minerals Conference & Expo. Aksi ini bukan sekadar teatrikal perlawanan; ini adalah jeritan yang menggema dari ujung timur Indonesia—sebuah permohonan terakhir untuk menyelamatkan tanah leluhur, budaya, dan kehidupan bawah laut yang luar biasa dari cengkeraman industri ekstraktif. 


Mengapa kita harus bersikeras menolak tambang di Raja Ampat? 


1. REPRESENTASI KULTURAL & SPIRITUAL 


Raja Ampat bukan sekadar gugusan pulau di Papua Barat. Ia adalah narasi hidup masyarakat Papua, lahir dari legenda tentang enam telur naga yang melahirkan lima manusia, empat di antaranya menjadi raja dari empat pulau besar: Waigeo, Misool, Salawati, dan Batanta. Setiap lekuk pulau bukan hanya lanskap, tetapi juga napas identitas budaya dan spiritual masyarakatnya. Kehadiran tambang bukan hanya mengubah ekosistem, tetapi juga mengoyak warisan yang diwariskan turun-temurun. 


2. SURGA BAWAH LAUT DUNIA 


Laut Raja Ampat menyimpan 75 persen spesies karang dunia. Ini bukan angka kecil. Ini berarti setiap gumpalan pasir, setiap lekukan terumbu karang di sana, memegang peran krusial dalam menjaga keseimbangan laut dunia. Namun, tambang yang telah lebih dulu menjamah Pulau Gag, Kawe, dan Manuran, membawa sedimentasi yang membunuh kehidupan laut secara perlahan. Greenpeace menyebutnya sebagai pembunuhan jantung biodiversitas lautan dunia. Sebuah tuduhan yang bukan tanpa bukti. 


3. PUSAKA GEOPARK DUNIA 


Penetapan Raja Ampat sebagai bagian dari UNESCO Global Geopark seharusnya menjadi perisai dari serangan industri. Namun ironisnya, status prestisius ini tampak tak mampu membendung kepentingan jangka pendek. Saat dunia mengakui pentingnya menjaga kawasan ini, pemerintah justru membuka ruang untuk konsesi tambang—langkah yang seolah menampar komitmen kita terhadap pelestarian bumi. 


4. POTENSI WISATA YANG TAK TERGANTIKAN 


Apakah kita benar-benar sedang berpikir rasional ketika memilih tambang yang berumur pendek dibanding wisata alam yang bisa diwariskan lintas generasi? Raja Ampat bukan hanya indah; ia adalah sumber ekonomi berkelanjutan. Dari Desa Sawinggrai hingga Misool, potensi wisata tak hanya menjanjikan pemasukan, tapi juga mempertahankan kelestarian. Sebaliknya, tambang datang membawa kerusakan, lalu pergi meninggalkan luka permanen. 


5. KERUSAKAN BIOTA LAUT 


Tak cukup dengan ancaman ekologis, tambang di Raja Ampat juga nyata melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir. Namun pelanggaran hukum ini belum ditindak secara serius. Lebih tragis lagi, masyarakat lokal kehilangan mata pencaharian, ruang hidup, bahkan kedamaian sosial. “Kami kehilangan identitas kami,” ujar Ronisel Mambrasar dari Aliansi Jaga Alam Raja Ampat. Ini bukan hanya soal lingkungan—ini soal keadilan sosial. 


6. DESTINASI TERBAIK DUNIA 


National Geographic menempatkan Raja Ampat sebagai salah satu dari 25 destinasi terbaik dunia untuk tahun 2025. Namun, pujian internasional itu tampaknya tak cukup menggugah nurani sebagian pengambil kebijakan di negeri ini. Apa gunanya pengakuan dunia jika kita sendiri memilih untuk merusak harta karun yang kita miliki? 


Raja Ampat bukanlah tempat yang bisa ditukar dengan segelintir keuntungan ekonomi dari tambang. Ia adalah warisan dunia, rumah bagi budaya, kehidupan, dan harapan. Menjaganya bukan hanya tanggung jawab masyarakat Papua—ini adalah tanggung jawab kita semua. 


Karena jika tambang diberi jalan, maka kita semua sedang ikut menulis babak baru tentang kehancuran, bukan pelestarian.

Post a Comment

0 Comments