Sejarah Desa Biyawak, Jejak Perlawanan "Pajak Per Kepala" di Tanah Jatitujuh

Source: Dok. Apri Subroto, Ilustrasi / Google

infomjlk.id — Diolah dari artikel sejarah yang ditulis oleh Bung Fei, dan laman Facebook Bumi Pusaka: 


Di jantung Kecamatan Jatitujuh, Kabupaten Majalengka, berdirilah sebuah desa yang tak hanya menyimpan kearifan lokal, tetapi juga jejak sejarah perjuangan, yaitu Desa Biyawak. Diapit oleh Desa Bantarjati, kampung kelahiran pahlawan nasional Ki Bagus Rangin. Biyawak menjadi saksi bisu dari awal mula api perlawanan terhadap kesewenang-wenangan kolonial Belanda. 


Nama “Biyawak” yang kini dikenal luas, bukan berasal dari fauna reptil sebagaimana orang awam mengira. Nama tersebut berasal dari frasa Cirebon “Biyaya Awak,” yang berarti “biaya badan” atau lebih tepatnya “pajak per kepala.” Sebutan ini lahir dari pengalaman getir rakyat yang diperas dengan pajak oleh para pemilik tanah partikelir, khususnya pengusaha Cina yang mendapatkan hak sewa dari pemerintah kolonial Belanda. 


Pada awal abad ke-19, sistem tanah partikelir merajalela di wilayah Keresidenan Cirebon. Tanah milik negara disewakan kepada pihak swasta, yang diberi kuasa penuh untuk mengeksploitasi lahan dan petani. Di tengah cengkeraman sistem ini, para petani pribumi yang telah lama menggarap tanah dengan mandiri, tiba-tiba dianggap melanggar hukum jika tidak tunduk pada pengusaha penyewa dan penguasa kolonial. Pajak bertubi-tubi menimpa, terutama pajak kepala yang menjadi simbol penindasan paling nyata. 


Ketidakadilan ini menyulut amarah rakyat. Di bawah kepemimpinan Ki Bagus Rangin, masyarakat yang selama ini dibungkam, bangkit. Awalnya melalui penolakan membayar pajak, aksi ini berujung pada pengusiran paksa oleh pemerintah kolonial. Namun, langkah pengusiran itulah yang menjadi api penyulut perlawanan. Rakyat menggenggam senjata. Pengusaha Cina, pejabat lokal kolaborator, hingga serdadu Belanda menjadi sasaran kemarahan. Perang meletus dan meluas, melibatkan ribuan rakyat dari Majalengka, Indramayu, hingga Cirebon. 


Kebangkitan ini bukan semata dipicu pajak, tetapi juga karena penghinaan atas martabat. Terlebih setelah Belanda mengasingkan Sultan Kanoman yang bersimpati pada rakyat, amarah rakyat memuncak. Pemberontakan berlangsung selama lebih dari lima belas tahun, rentetan peristiwa yang kini menjadi narasi penting dalam sejarah perlawanan rakyat di tanah Jawa Barat. 


Sebagai bentuk penghormatan atas semangat juang dan penderitaan rakyat, wilayah tempat api pemberontakan pertama kali menyala itu pun diberi nama "Biyawak". Sebuah penanda sejarah yang mengingatkan generasi akan perjuangan panjang melawan ketidakadilan. 


Namun, meski nama itu mencuat sejak era Ki Bagus Rangin (1805–1818), struktur pemerintahan desa baru terbentuk sekitar tahun 1840, dengan Margahayu sebagai Kuwu pertama.

Post a Comment

0 Comments