Menelusuri Jejak Sungai Cimanuk, Ketika Majalengka Menjadi Nadi Perdagangan Abad ke-17

Source: Het National Archief

infomjlk.id — Dalam lembaran usang sebuah peta kuno yang tersimpan rapi di Het National Archief, Belanda, tersimpan kisah terlupakan tentang denyut niaga dan pelayaran di jantung tanah Sunda bagian timur. 


Peta yang diperkirakan berasal dari tahun 1677 ini, meskipun tak mencantumkan nama "Majalengka" secara eksplisit, menyuguhkan serpihan sejarah penting yang menguak peran strategis wilayah ini dalam jaringan perdagangan melalui Sungai Cimanuk, jauh sebelum jalur darat menggantikan dominasinya. 


Tanda-tanda peradaban sungai kala itu tampak jelas melalui keberadaan sejumlah desa tua seperti Karangsambung, Bantarjati, Panongan, dan Jatitujuh. Desa-desa ini berdiri di sepanjang jalur Cimanuk, menjadi simpul vital antara dataran tinggi Sumedang dan pelabuhan penting di Cirebon. Tak heran, Karangsambung bahkan disebut-sebut dalam catatan Belanda sebagai titik penghubung utama, menandakan bahwa jalur air bukan sekadar lintasan, melainkan nadi kehidupan ekonomi kala itu. 



Kesalahan penafsiran historis pun sempat terjadi, ketika banyak pihak mengaitkan rute ini dengan Karangsembung di timur Cirebon. Namun, pembacaan ulang atas logika geografis justru mengarahkan pada Karangsambung di Kadipaten, Majalengka—sebuah simpul transit yang lebih sesuai dalam konteks lintasan antara Sumedang dan pantai utara. 


Satu nama yang cukup mencuri perhatian dari peta ini adalah Talaga. Munculnya nama tersebut menjadi petunjuk bahwa Belanda pernah mencatat eksistensi Kerajaan Talaga, sebuah kerajaan kecil yang pamornya meredup di abad ke-17 namun jejaknya tetap kuat menancap dalam memori kartografi. Ketidakhadiran nama-nama lain seperti Kadipaten, Sindangkasih, atau Jatiwangi justru mempertegas bahwa pusat-pusat pertumbuhan baru di Majalengka merupakan hasil dari dinamika kolonial yang lebih belakangan. 


Berbeda dari peta-peta kolonial masa Daendels yang terfokus pada pembangunan jalan darat, peta ini merekam fase awal eksplorasi VOC di pesisir utara Jawa Barat. Simbol-simbol seperti bendera Belanda di wilayah Cheribon menjadi penanda kuat bahwa peta ini disusun tak lama setelah penyerahan Cirebon oleh Kesultanan Mataram kepada VOC—sebuah momen krusial yang membuka era baru dominasi kolonial. 


Kini, meski alur Sungai Cimanuk tak lagi menjadi arteri utama perdagangan, jejak sejarahnya tetap mengalir di bawah permukaan. Desa-desa yang dulunya berjaya sebagai pelabuhan pedalaman kini hanya menyisakan jejak samar di peta modern. 


Namun sebagaimana diungkapkan oleh sejarawan Majalengka, Kang Naro, "Ini bukan sekadar kisah masa lalu, melainkan cermin jati diri dan akar budaya yang harus kita kenali dan warisi." 


Dengan membuka kembali peta-peta tua dan membacanya bukan sekadar sebagai arsip, melainkan sebagai narasi hidup, kita diajak untuk melihat Majalengka bukan hanya sebagai daerah di tengah tanah Sunda, melainkan sebagai saksi bisu lalu lintas zaman, tempat di mana sungai pernah menjadi urat nadi peradaban.

Post a Comment

0 Comments