Infomjlk.id - Baraya Infomjlk, pernahkah baraya melewati bulan ramadan tanpa obrog-obrog? Bulan ramadan tanpa obrog-obrog rasanya seperti menunggu balasan perasaan doi, hampa, resah, gundah. Obrog-obrog sudah menjelmakan “dirinya” sebagai sesuatu yang dinanti, meski dini hari. Namun, tahukah baraya, bagaimana sebetulnya sejarah obrog-obrog ini bermula?
Jika kita menarik sejarah pada masa Islam awal, tradisi membangunkan sahur sudah bermula sejak Khalifah Abbasiyah di tahun 238 H. waktu itu, Utbah bin Ishaq seorang gubernur Mesir berjalan kaki menyusuri jalanan dari Fustat hingga ke Masjid Jami Amr bin Ash untuk membangunkan dan mengajak warganya sahur. Tak hanya itu, baraya, cara membangunkan sahur zaman dulu ada juga yang menggunakan lantunan syair, musik, dan nyanyian. Hal ini seperti yang tercantum dalam Fatwa Al-Azhar 8/284.
Lalu, bagaimana dengan obrog-obrog?
Tradisi obrog-obrog tak bisa dilepaskan dari pertemuan budaya antara wilayah Cirebon, Indramayu, Kuningan, dan Majalengka. Keempat wilayah ini turut serta mewarnai beragam tradisi dalam membangunkan sahur di bulan ramadan. Di Majalengka sendiri, tradisi obrog sudah ada jauh sebelum tahun 1990-an. Boleh jadi antara tahun 1970-1980-an, tradisi ini mulai melekat di benak masyarakat Majalengka.
Desa Bojongcideres, sebagai bagian dari wilayah Majalengka punya sejarah tersendiri dengan obrog-obrog. Tradisi obrog di desa ini tak bisa dilepaskan dengan grup kesenian kuda renggong “Si Heulang Muda” yang dipimpin oleh H. Narsa. Grup kesenian ini sudah bermula sejak era 1980-1990-an. Kesenian ini memadukan musik, dan gerak ritmis tarian lenggok kuda. Hingga tak ayal, grup kesenian ini sampai tersohor hingga ke wilayah Sumedang.
Kenapa obrog-obrog di Bojongcideres selalu lekat dengan kuda renggong?
Sebab, setiap kelompok seni di desa ini selalu memiliki alat musik yang digunakan untuk pentas kuda renggong sekaligus obrog-obrog. Seperti kendang, gong, saron, goong, jidur, dll. Jika di bulan-bulan lain selain ramadan, grup kesenian kuda renggong “Si Heulang Muda” selalu pentas dengan kudanya, maka di bulan ramadan grup ini pentas tanpa kudanya.
Pernah satu ketika, tradisi obrog-obrog di desa Bojongcideres mementaskan dua kesenian sekaligus. Selain membangunkan sahur lewat obrog-obrog, grup ini pula “ngelarkeun” kuda renggongnya di malam hari dengan musik obrog-obrog selama ramadan. Sehingga jadi daya tarik tersendiri untuk bangun lebih awal karena kuda renggong obrog-obrog.
Pada seminggu terakhir bulan ramadan, Tradisi obrog-obrog Desa Bojongcideres, selain “ngobrog” malam hari, juga dilakukan di siang harinya. Termasuk juga “ngelarkeun” kuda renggong. Hal ini untuk menarik minat dan arena hiburan, terutama bagi anak-anak sebagai “hadiah” dan sukacita karena telah mampu beribadah puasa selama ramadan. Namun, sejatinya ada pesan tersendiri dari gelaran ini, untuk mengajak, mengetuk hati, dan sarana dakwah agar bersama-sama menjalankan ibadah di bulan ramadan.
Arief Nur Rohman
0 Comments