Perjuangan Laki-Laki Menembus Pabrik di Majalengka

 

infomjlk.id - Wahai kaum laki-laki yang suaranya telah dibungkam oleh sistem struktural, mari kita bangkit kembali. Kita memang perlu menyuarakan hal ini, semenjak adanya pabrik-pabrik yang beroperasi terutama di sektor garmen dan textile itu setidaknya telah merubah pola mata pencaharian orang Majalengka. Hal ini tentu berpengaruh pada generasi milenial atau gen z saat ini.


Dominasi pekerja perempuan di pabrik terutama sektor garmen dan textile ini memang sudah tersistem dan struktural. Alasanya adalah posisi sewing (menjahit) dan administrasi lebih baik dikerjakan oleh perempuan sedangkan posisi yang lebih menitikberatkan pada tenaga lebih sering dilakukan oleh laki-laki seperti cutting, logistik, warehouse, kerja lapangan atau pertambangan. Namun sayangnya di Majalengka sektor pertambangan, oil dan gas tidak ada sehingga pabrik garmen, textile, sepatu, makanan yang menjadi pilihan.


Selain hal itu, sistem tambal sulam pada posisi yang sering dilakukan laki-laki menjadi rebutan sedangkan kuota yang tersedia sedikit. Dengan demikian menaruh harapan pada orang “eksternal” bahkan orang dalam sering menjadi jalan yang dapat ditempuh. Inilah ironi kita saat ini wahai kaum laki-laki.


Suara-suara kita memang seolah terdengar sumbang karena hal ini juga sudah menjadi budaya maskulinitas yang toxic. Budaya ini terlahir dari masyarakat patriarki yang mengkontruksi bahwa laki-laki merupakan sosok kuat, dominan serta memiliki posisi tawar (bargaining position) dan kuasa yang lebih atas perempuan sehingga suara-suara kaum laki-laki sering diabaikan karena sudah dirasa berada di atas lalu menjadi boomerang sendiri manakala adanya ketimpangan atau toxic.


Narasi suara laki-laki ini sama halnya saat paham feminisme diperjuangkan baik secara teori atau gerakan yang menuntut hak-hak perempuan yang sejarahnya dirampas oleh struktur dan kultur patriarki yang melekat pada laki-laki. Sehingga adanya kesejajaran dan keadilan hak.


Namun pada masa kini diskusi itu perlu dibawa kearah yang lebih cair. Mengingat suara-suara kaum lelaki pun perlu didengar. Berbeda halnya dengan suara feminisme yang dilakukan perempuan yang terdengar nyaring, suara laki-laki ini terdengar pasif mungkin karena gengsi dan budaya patriaki toxic yang melekat.


Tentunya, kaum laki-laki tidak putus harapan mengingat kita akan atau sedang menjadi pemimpin keluarga atau tulang punggung keluarga. Kaum laki-laki di Majalengka tentu punya pilihan lain selain bekerja di pabrik diantaranya, wirausaha, pegawai negeri sipil, ataupun menawarkan jasa. Perlu pikiran terbuka juga manakala adanya ketimpangan penghasilan antara suami-istri (pasangan) sehingga tetap perahu berjalan pada arah yang dituju.


Radc


Post a Comment

0 Comments