Makna Lebaran yang Sesungguhnya



infomjlk.id – Baraya InfoMJLK, kurang dari satu minggu kita semua akan menyambut lebaran. Tentunya di antara kita tak ada satu pun umat manusia yang terlepas dari dosa. Sejak Adam-Hawa diturunkan Tuhan ke bumi, manusia selalu menorehkan noda dosa di dalam dirinya. Dosa yang terucap dan diperbuat. Baik pada diri sendiri atau orang lain. Bahkan orang saleh pun pernah sesekali dalam hidupnya melakukan kesalahan. Orang saleh adalah bukan orang yang tak pernah berbuat salah. Melainkan orang yang dengan penuh kesadaran diri mengakui pernah berbuat salah. Sehingga timbul kesadaran dalam dirinya untuk terus selalu mengoreksi dan memberi maaf seluas-luasnya. Dengan kesadaran inilah manusia mampu dan bersedia untuk terus khidmat, bersimpuh, pasrah menengadah di hadapan Tuhan untuk memohon ampunan.


Lebaran menjadi satu momentum untuk penyucian diri. Suci dari segala hal yang mampu mengotori diri. Baik lahir maupun batin. Sehingga dalam perayaan Idul fitri, kita tak ayal mendengar ungkapan “mohon maaf lahir dan batin”. Sebagai bagian dari upaya saling menyadari kesalahan dan memaafkan untuk kembali pada kesucian sebagai manusia.


Sudah tiga kali rupanya umat Islam di Indonesia merayakan bulan ramadan dan Idul fitri dalam suasana pandemi Covid-19. Perayaan lebaran di masa pandemi menuntut kita untuk bersikap bijak pada setiap aturan yang dirumuskan oleh pemerintah. Mampu menahan diri dalam suasana yang jauh dari ingar-bingar, penuh dengan kesunyian dan keheningan. Suasana keheningan-kesunyian hari raya sejatinya adalah suasana untuk jauh mendalami dan menyelami diri sendiri sebagai bagian dari upaya merefleksi, meneladani, merenungi dan mengevaluasi sejauhmana kita sudah berbuat kebaikan-kebenaran-keindahan dan kemerdekaan diri yang mampu mewujudkan harmoni bagi sesama manusia. Sehingga tidak ada lagi sikap-sikap keangkuhan, jumawa, kemarahan, dan ragam sikap yang mampu melukai manusia lain dengan tingkah laku yang kita perbuat.


Lebih jauh lagi, kesunyian-keheningan lebaran membuat kita menelisik, untuk bersama-sama memiliki kesadaran penuh akan pentingnya mendidik diri pasca lebaran. Sebagai bentuk dari eksistensi diri dalam mengimplementasikan rangkaian ibadah dan pesan ajaran agama selama ramadan yang berimplikasi pada kehidupan, perilaku, dan komitmen sosial pada bulan-bulan berikutnya pasca ramadan.


Paling tidak ada dua hal inilah yang bisa kita teladani dari makna lebaran sesungguhnya;


1. Merekonstruksi Makna Memaafkan


Separuh dari kita memberi maaf sudah menjadi hal lumrah sebagai bagian yang tak terpisahkan dari momentum lebaran. Namun, sebagian lagi yang memahami, memberi maaf pada hari raya menjadikannya mengingat dan mengungkit kesalahan yang telah lalu. Seolah pada hari itu, pintu kesalahan terbuka dan kunci-kunci keangkuhan melegalkan dirinya. Hal inilah yang perlu kita sadari bersama, bahwa merekonsiliasi diri dan orang lain menjadi modal besar untuk menumbuhkan kesadaran kolektif  dengan berbekal ketulusan, keikhlasan, dan teguh secara total memaafkan berbagai khilaf orang lain – termasuk diri kita sendiri— tanpa menyisakan sedikitpun luka di dalamnya.


2. Menumbuhkan Kemampuan Membaca Diri


Membaca diri sendiri sebagai makhluk Tuhan dan peneguhan atas kesadaran untuk meningkatkan kualitas kedirian dari waktu ke waktu sejatinya adalah kemenangan yang hakiki. Suatu kemenangan melawan kuasa hawa nafsu, impuls angkara murka, angkuh, dan lainnya. Selain itu, kemampuan membaca diri bisa dipahami dengan mengontrol, mengawasi, menindak atas segala perbuatan yang tidak dikehendaki oleh Tuhan. Kemudian mengubahnya dengan berbagai perilaku konstruktif, empatik, dan produktif. Dengan begitu, makna kesejatian lebaran akan menemukan titik labuh yang nyata dalam diri kita. Menjalin berkelindan yang nampak dalam perilaku keseharian.


Pada saat yang sama, kemampuan bersikap lapang, teguh, dan tidak memiliki mental pasrah menengadah mengharap imbalan dari orang lain mengantarkan manusia untuk selalu merasakan hikmah dan karunia dari Tuhan. Ia akan selalu bersikap positif dan bersyukur atas segala yang diterimanya dalam hidup.


Dengan dua makna inilah, akan menjadikan kita memiliki kematangan jiwa, keluhuran budi, keteguhan hati dan sikap lain yang selalu diaktualisasikan dalam budi baik perilaku. Baik secara individual maupun sosial, sehingga kesejatian iman akan membuahkan titik labuh pada dermaga-Nya.


Arief Nur Rohman

Post a Comment

0 Comments