Jadi Dewan, Tanpa Sekolah: Otong Syatori (Bagian Kedua)

infomjlk.id -

Gimana? Udah mood?”

Hhmm lumayan.”

“O ya jelas, kan kopinya tak bayarin.”

“Ehehe. Terakhir itu sampe si Otong tuntas mesantren ya...”


IV

Itu tahun 1908. Usai menimba ilmu di pesantren-pesantren sekitar Majalengka, takdir kemudian melambungkan Otong ke belahan dunia lain. Tidak melambung secara literal memang, melainkan merayap via kapal menyebrangi samudera ditemani orang Jawa, Melayu, Cina, dan penumpang berlatar belakang majemuk. Dengan tujuan ke Mekkah, tanah suci Islam. Ia hendak tunaikan ibadah haji, rukun Islam kelima, sekaligus memperluas cakrawala wawasan dengan berguru di tanah Arab sana.


Entah terlintas kesadaran telah melewati prosesi istimewa atau semacamnya, pada titik ini pula Otong Syatori beralih nama menjadi H. Abdul Halim. Nama yang bakal disandangnya ketika ikut dalam arus pergerakan nasional dan kelak terpatri sebagai nama jalan yang membelah kota Majalengka.


Di pusat jaringan Haramayn, yakni Mekkah dan Madinah, di tengah-tengah lingkungan yang begitu pekat keIslamannya, Abdul Halim menerima pengajaran setidak-tidaknya dari empat guru. Namun, rupanya tak semua jejak guru beliau mudah dikaji ulang. Berdasar “Riwayat Perjuangan K. H. Abdul Halim” gubahan Miftahul Falah, total hanya tiga diantaranya yang dapat dikupas dan itu pun tidak begitu utuh. Pengetahuan akan sosok guru menjadi penting untuk melihat pengaruhnya kemudian dalam langkah Abdul Halim sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia.


Satu dari dua itu yakni Syekh Akhmad Khatib yang datang ke Mekkah pada 1876 untuk mengamati bagaimana kaum Wahabi memerangi kaum Bid’ah. Lha kok? Jauh dua puluh tahun sebelumnya, ia dilahirkan di Bukittinggi dan berbapak seorang hakim kaum Paderi, kaum yang berusaha untuk membersihkan ajaran Islam dari adat yang dipandang telah keluar dari ajaran Islam. Usaha tersebut tidak seperti berjalan di atas karpet merah lagi bersambut meriah. Melainkan mendapat tentangan dari kaum Adat dan pemerintah kolonial Inggris hingga pendudukan Belanda. Menilik jejak rekam tersebut, adalah mungkin jika sikap non kooperatif Abdul Halim terhadap birokrat kolonial, salah satunya, terlahir dari pertemuan dengan Syekh Akhmad Khatib.


Guru-gurunya yang mendapat singgungan dalam buku Miftahul Falah ialah Emir Syakib Arslan, seorang tokoh nasionalis Arab dan Syekh Tanthawi Jauhari, cendekiawan berkebangsaan Mesir. Gurat pemikiran nama pertama bahkan sempat coba ditarik ke publik lokal dalam media Soeara Persjarikatan Oelama (SPO). Berbeda dengan figur guru sebelumnya yang konservatif, pemikiran dua guru ini lebih bernafas pembaruan yang kemudian membekas dalam diri tokoh kita, terutama pergerakannya di kancah pendidikan. Pola pikir yang memancing perdebatan pula di kalangan ulama lokal soal “reformis vs konservatif”, bahkan hingga saat ini (?), meski Abdul Halim sendiri coba menepis label yang dialamatkan padanya.

Omong-omong soal gerakan pembaruan Islam, tentu saja ia juga membaca pemikiran Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh yang terkenal itu. Yang lucu ketika Abdul Halim coba mengonsumsi tulisan mereka, Syekh Akhmad Khatib justru mewanti-wanti supaya tidak terpancing ke arus yang sama.


V

Di luar relasi guru-murid, Abdul Halim juga belajar dari pertemuan-pertemuan dengan berbagai macam orang dan peristiwa yang terhelat nun jauh di sana. Contohnya seperti observasi akan pola pendidikan yang spesifiknya berlokasi di Mekkah (Babussalam) dan Jeddah. Ia melihat dengan kedua bola mata sendiri jika pendidikan agama dapat disampaikan dengan metode-metode baru, sesuatu yang tak pernah dijajalnya kala nyantri dulu.


Sistem pembagian kelas diterapkan, berikut bangku, kursi, papan tulis semua ditata sedemikian rupa. Macam sekolah-sekolah barat saja. Pengalaman ini jadi satu yang bersarang dalam pertimbangan Abdul Halim kala membuka unit pembelajaran di Majalengka kelak.


Di samping itu, ia juga berhubungan dengan warga senegara yang merantau ke Arab. Beberapa kawan berdiskusinya antara lain Mas Mansur, kemudian aktif di Muhammadiyah, Abdul Wahab Hasbullah, salah satu tokoh Nahdlatul Ulama, dan Ahmad Sanusi, pendiri Al-Ittihadiyatul Islamiyyah. Dengan nama terakhir lebih intim lagi, konon dua karib ini sempat saling berjanji jika suatu nanti kembali ke tanah air bakal bahu membahu untuk memerangi penjajahan lewat pendidikan. Realisasinya lahir sebuah wadah organisasi massa bernama Persatuan Umat Islam (PUI).


Raka

Post a Comment

0 Comments