Fakta Puasa Mampu Mentransformasi Kesalehan Sosial

 

infomjlk.id - Tidak lama lagi, ramadan meninggalkan kita semua. Ramadan yang banyak memberi pelajaran dan pendidikan bagi umat manusia yang gersang, kering, dan tandus dalam menapaki hari-hari sebagai khalifah-Nya. Ramadan memberikan kesejukannya pada semesta melalui serangkaian ibadah, riyadhoh, dan mujahadah yang setiap malamnya doa-doa mustajabah.


Rangkaian ibadah pada bulan ramadan memiliki implikasi pedagogis bagi diri sendiri, umat, dan masyarakat komunal. Ibadah di bulan ramadan juga tidak hanya berorientasi vertikal-ukhrawi tetapi juga horizontal-sosial-duniawi. Di antara rangkaian ibadah pada bulan ramadan itu, adalah puasa.


Puasa dalam terminology Bahasa Arab, memiliki dua kata yang berbeda. Pertama, Ash-Shiyam; dan Kedua, Ash-Shaum. Terkadang kita mengartikannya dengan dua hal yang sama, yaitu puasa. Jika merujuk dalam Al-Quran, dua terminology ini memiliki orientasi yang berbeda dengan praktik puasa yang berbeda pula. Misalnya dalam Al-Quran surah Al-Baqarah:183. Puasa dalam terminology surah ini menggunakan kata Ash-Shiyam, di mana yang menjadi puncak dan orientasinya adalah bertakwa. Namun, takwa dalam surah ini tidak dijelaskan lebih lanjut dalam ayat-ayat setelahnya, sehingga cukup jelas-lah kita memahami bahwa yang harus dilakukan adalah berpuasa agar memiliki sikap takwa.


Puasa dalam pengertian yang pertama memiliki arti menjalankan puasa pada bulan ramadan. Atau menahan segala sesuatu yang mampu membatalkan puasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Paling tidak hal yang mampu membatalkan puasa ini dibatasi oleh aktivitas makan, minum, dan berhubungan badan di siang hari.


Sementara itu, Puasa dalam pengertian kedua menggunakan kata Ash-Shaum. Kata Ash-Shaum di antaranya terdapat pada Al-Quran Surah Maryam:26, yang artinya: “Makan, minum, dan bersukacitalah engkau. Jika engkau melihat seseorang, katakanlah, ‘sesungguhnya aku telah bernazar puasa (bicara) untuk Tuhan yang Maha Pengasih. Oleh karena itu aku tidak akan berbicara dengan siapapun pada hari ini.”


Puasa dalam pengertian ini Ash-Shaum di sini memiliki makna untuk puasa bicara. Puasa bicara adalah menahan diri dari segala syahwat jasmani dan kemanusiaan kita mulai dari indera, hati, jiwa, dan akal untuk berupaya mengendalikan diri dan meredam potensi bicara. Meski bicara adalah hal yang dibolehkan dalam agama, namun pembicaraan yang kurang baik, bagaimanapun adalah perilaku yang dilarang. Oleh karena itulah perilaku puasa sesungguhnya mampu meredam untuk tidak membicarakan orang lain, bergunjing, mengumpat, bersikap angkuh, dan dengki atas capaian orang lain.


Lebih jauh, puasa mengajarkan kepada manusia untuk memiliki ketangguhan, sikap jujur, dan kesabaran yang luas. Tiga nilai fundamental ini mengejawantah pada perilaku manusia yang berpuasa. Jika seseorang yang menjalani puasa namun tidak memiliki di antara ketiga nilai tadi, boleh jadi ibadah puasa yang dikerjakannya adalah puasa yang belum memiliki implikasi pada nilai sosial atau puasa dalam ukuran keberhasilan fiqhiyah-lahiriah.


Puasa agar memiliki implikasi yang lebih luas, tidak hanya dimaknai dalam skala yang sempit dan kaku. Akan tetapi dimaknai secara inklusif dan universal. Puasa pula tidak dimaknai sebatas pembatasan aktivitas lahirah, akan tetapi jauh menelisik memaknai hingga hakikat puasa secara rohaniah.


Lantas pertanyaannya demikian “Sudahkah puasa kita memiliki implikasi pada perubahan besar pada diri dan lingkungan sekitar?” “lalu, puasa seperti apa yang memiliki dampak pada transformasi kesalehan sosial?” atau boleh jadi puasa yang kita jalani masih sebatas rutinitas ritual ibadah formal.


Jawabannya adalah puasa yang tidak sekadar menahan diri dari lapar dan dahaga, akan tetapi mampu menahan diri dari segala potensi yang merusak kualitas ibadah puasa. Misalnya, puasa untuk menahan telinga dari mendengar pembicaraan yang tidak wajar, puasa menahan lisan dari membicarakan orang lain, puasa tangan untuk tidak berbuat keji dan kerusakan, puasa kaki untuk tidak semena-mena pada sesama, serta puasa seluruh anggota tubuh mulai dari naluri, nurani, dan niat hati dari perbuatan dosa yang berskala besar. Tipe puasa seperti inilah yang akan memberikan perubahan bagi diri dan lingkungan, juga akan bertransformasi pada kesalehan sosial minimal dimulai dari diri sendiri.


Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah menjelaskan bahwa, “seseorang yang berpuasa adalah orang yang anggota badannya berpuasa dari perbuatan dosa, lisannya berpuasa dari kata dusta, kata-kata keji, dan ucapan palsu. Jika berbicara, tidak berbicara yang dapat merusak puasanya. Jika berbuat, tidak berbuat dengan segala perbuatan yang mampu merusak puasanya, sehingga seluruh ucapannya keluar dalam keadaan baik dan bermanfaat.”


Puasa memiliki urgensi untuk mampu bersikap menahan diri. Al-imsak tidak dimaknai sekadar menahan diri secara lahiriah, tetapi juga batiniah-psikologis. Di era hari ini, mampu bersikap menahan diri menjadi penting. Sebab, tidak sedikit perilaku dan tindakan sosial kita tidak bisa ditahan, misalnya; berbuat yang mampu merugikan orang lain, hutang, berbuat dosa, dan korupsi yang mampu mengotori hidup. Bagaimanapun perilaku kriminalitas dan dosa sosial tidak bisa diputihkan oleh ibadah ritual. Baik itu melalui ibadah salat, puasa, dan haji. Oleh karena itulah, mari bersama-sama melatih untuk bisa menahan diri, memiliki sikap pemaaf, berdamai dengan lingkungan, dan memiliki komitmen sosial untuk menjalin hubungan baik dengan sesama. Sehingga kesejatian puasa mampu mengembalikan diri sejati sekaligus mampu memperkokoh hubungan sosial yang bertransformasi pada kesalehan sosial.


Arief Nur Rohman

Post a Comment

0 Comments