Menginjakan kaki di tanah suci selalu jadi impian setiap muslim, termasuk bagi Mak Ruti. Panggilan ke tanah suci akhirnya terlaksana setelah menabung lebih dari 20 tahun.
Mata Nenek berusia senja ini terlihat berkaca-kaca, sementara mulutnya terus berkumat-kamit melafalkan puja dan puji kepada yang Maha Kuasa. Pandangan kami beralih pada jema'ah yang lain, ada sekitar 35 orang yang berangkat kali ini, lebih dari setengahnya berusia lebih dari 60 tahun; ada Mak Kawit, ada Aki Hasan, dan yang lainnya, juga menunjukan ekspresi yang mirip dengan Mak Ruti, urusan spiritual memang selalu menjadikan seseorang emosional. Inilah pengalaman kami mengantar Mak Ruti dan para jemaah lainnya umrah bersama Qifaya Travel Umrah dan Haji Majalengka.
Pengalaman ini begitu mengharukan, bukan karena semuanya berjalan lancar, tetapi karena membantu seseorang beribadah adalah kesempatan yang belum tentu dimiliki semua orang. Awalnya judul mengantar emak-emak Majalengka umrah membuat berekspekstasi perjalanan ini seperti study tour sekolah. Bedanya, perjalanan ini adalah perjalanan suci menuju tanah suci. Semuanya memang terlihat sempurna, hingga ketika kami sampai di hotel di Jakarta, sesuatu terjadi.
Mak Ruti dan para jemaah lain satu-persatu memanggil kami, ada yang bertanya tentang di mana letak saklar untuk menyalakan lampu, ada yang protes karena tidak menemukan bak mandi di WC, bahkan ada yang tidak tau caranya membuka pintu hotel menggunakan kartu. Awalnya kami sempat berpikir bahwa orang-orang yang melaksanakan ibadah umrah, adalah para bos dan juragan yang memiliki banyak duit, tetapi dalam rombongan ini nggak terlihat semuanya begitu. Mak Ruti sendiri adalah penjual umbi-umbian, sementara Mak Kawit adalah pedagang kerupuk keliling. Bagi Mak Ruti dan Mak Kawit ini adalah pengalaman pertama kalinya menginap di hotel.
Hal inilah juga yang memberikan sedikit tantangan bagi kamu saat harus ada pengumuman atau pemberitahuan yang harus disampaikan pada jemaah, "Enggak semua jemaah punya ponsel, ada yang punya, tapi handphone jadul yang enggak ada WhatsApp-nya," misalnya saja, saat membangunkan sholat tahajud. Kami harus membangunkan Mak Ruti dan kawan-kawan secara manual, mengetuk pintu satu persatu, "dan kadang-kadang, mereka enggak berada di satu lantai yang sama," sedikit melelahkan memang, tapi ya lelah ini lelah yang membahagiakan.
Mungkin kami sudah dapat membayangkan jemaah menangis saat melihat kabah, terutama ketika mereka melapalkan "labaikallah humma labaik,"
Saat bis melaju pelan, terlihat beberapa pohon kurma di samping kami, badan Mak Ruti mengiggil, tangisnya justru kembali pecah ketika melihat pohon kurma untuk pertama kalinya, dia nyaris nggak percaya bisa melihat bagaimana bentuk pohon kurma, "selama ini saya hanya menerka-nerka bagaimana bentuk pohon kurma, akhirnya sekarang saya tau."
Bu Evi yang padahal sudah melakukan haji masih menangis ketika kami hendak meninggalkan Madinah, beliau khawatir ia nggak akan pernah kembali lagi ke sini. Dalam perjalanan yang terasa amat cepat dan penuh air mata ini, begitu pengalaman kami mengantar emak-emak Majalengka umrah.
\
0 Comments