SCT: Kepada Ridho Susilo

 

Ridho Susilo



M. Ridho Susilo

Di Sutawangi

 

 

 

Suatu hari yang tenang di kelas delapan, murid-murid di kelas tiba-tiba riuh. ‘”Lihat ada murid baru,” kata salah satu dari mereka, seraya menunjuk ke lapang basket. Kami segera mengalihkan pandangan ke jendela, yang dibaliknya ada seseorang yang berjalan petantang-petenteng; seakan ia lupa bahwa hari itu adalah hari pertamanya di sekolah. Lah itu mah si Ridho. Saya kenal orang itu, kami sama-sama tinggal di Gang Mawar Desa Sutawangi. Di tempat kami, Ridho juga adalah anak pindahan, sebab bapaknya dipindah-tugaskan ke Jatiwangi. Di tempat itu kami pertama kali saling mengenal. 

 

Rumah kami memang agak berjauhan, tapi di gang mawar—tapi untuk beberapa waktu tertentu, semua anak bermain bersama-sama, dari ujung utara sampai ke ujung satunya. Seingat saya, Ridho kecil masih polos, pendiam dan sopan. Meskipun begitu, ia tampak tak punya terlalu banyak teman. Jadi, ketika melihatnya pindah ke sini—saya agak khawatir. Bisakah anak ini beradaptasi di sekolah ini?

 

Kekhawatiran saya salah besar. Ridho malah melesat, ia bisa memanfaatkan pamor anak baru untuk mencuri perhatian orang-orang. Dia bisa masuk ke semua lapisan siswa, bahkan Lyra, dia malah ikut-ikutan pramuka, dan pada akhirnya masuk ke dalam circle kami (yang saya susah payah melakukannya, Ridho hanya butuh kurang dari sebulan). Saya hanya bisa geleng-geleng kepala.

 

Selanjutnya setelah itu kehidupan kami terasa punya semangat baru berkat dibawa anak baru satu ini, hadirnya berikan warna tersendiri. Karakter dia kuat, karakter yang belum ada pada kelompok kami sebelumnya. Bercanda Ridho sering garing memang, tetapi dia cukup sering bikin semua orang tertawa berkat pembawaannya. Gimana ya, Ridho sangat imut waktu SMP, namun kata-kata yang keluar dari mulutnya kasar, kadang-kadang menyakitkan. Meskipun begitu, ia tetap punya banyak cewek. Mia salah satunya.

 

Ketika kami main di rumahnya. Ridho diminta orang tuanya untuk ikut membantu dagang. Pun saat main atau kegiatan organisasi, beberapa kali ia pamit pulang duluan untuk membantu keluarga.

 

Kehidupan penuh tawa bersama Ridho, hilang, ketika kami beda SMA. Pun saya harus pindah rumah ke Burujul; saya tidak tau apa yang dilakukannya. Satu yang pasti adalah, ketika kami ke rumahnya, kadang dia tidak ada, dia sedang dagang. Terutama di malam minggu. Ridho nyaris tak bisa diganggu.

 

Nah, Lyra, kalau waktu SMA dia bagaimana?

 

Pasca SMA, Ridho harus mengubur mimpinya untuk melanjutkan Pendidikan di kedinasan—alih-alih berduka, ia malah menggunakan energinya untuk lebih serius untuk bisnis. Di momen ini ia mencoba bisnis sendiri. Seblak dan sosis waktu itu. Saya saksinya, bahwa Ridho pernah dorong-dorong gerobak, dan dagang sendiri. Kadang-kadang, kalau sedang luang, saya ikut menemani dia berjualan.

 

“Kalau mau menjadi orang dewasa yang tidak biasa-biasa saja, maka harus berani mengorbankan masa muda,” begitulah kira-kira nasehat dari seseorang. Ridho benar-benar mengorbankan masa mudanya, dan segala kemudahan yang ia dapatkan hari ini adalah buah hasil kerja keras untuk waktu yang tidak sebentar. Sejak SD. Hari ini, di usianya yang sebaya dengan saya, dia telah memiliki segalanya. Kebutuhan-kebutuhan mendasar diri dan keluarga telah mampu ia penuhi.

 

Lyra, yang kamu tidak tahu adalah;

 

Ridho adalah salah satu teman yang supportif. Dia terlibat di besoksenin, dia membantu keluarga kami dengan memperkerjakan mamah—ketika keluarga kami kesulitan. Dia ingin saya juga belajar berjualan, dengan mengajak di tempatnya. Kepadanya, saya bisa menjadi diri sendiri, dan berani meminta tolong ketika butuh. M. Ridho Susilo bukanlah nama yang dikenal setiap orang di kota ini, tetapi bagi saya, dia selalu punya tempat. 

 

Meskipun kadang-kadang saya merasa bahwa ada yang belum tuntas. Entah itu apa. Namun, untuk menuntaskan itu, saya berusaha untuk tetap terhubung dengannya. Dia termasuk salah satu teman yang saya kunjungi rutin tiap beberapa bulan. 

 


Post a Comment

0 Comments