Tiga Fakta Budaya Mudik Lebaran

 


InfoMJLK -- Bulan Ramadhan tahun 1443 H/2022 M sudah hampir selesai. Kurang lebih delapan hari lagi menuju lebaran (Hari Raya Idul Fitri). Sudah menjadi tradisi ketika menjelang pergantian Ramadhan ke Syawal, banyak orang yang pulang ke kampung halamannya untuk merayakan hari raya Idul Fitri. Ada yang pulang dengan transportasi darat, laut, bahkan udara. 

Setelah dua tahun tidak bisa merasakan euforia lebaran di kampung halaman, akhirnya tahun ini pemerintah mengizinkan masyarakat untuk pulang kampung dengan beberapa persyaratan. Nah, kita sebut saja tradisi pulang kampung itu dengan istilah ‘mudik’. Sebetulnya, kenapa sih ada sebutan mudik? Yuk, kita simak penjelasannya!

Pertama dari segi etimologi. Istilah mudik yang tren pada tahun 1970-an ini berasal dari kata ‘udik’ yang memiliki arti selatan atau hulu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata mudik memiliki makna (berlayar, pergi) ke udik; pulang ke kampung halaman. Dalam bahasa Betawi, kata ‘udik’ artinya kampung. Jadi, mudik artinya kembali ke udik (kampung). Dulu, sebelum terjadi urbanisasi besar-besaran di Jakarta, banyak wilayah yang memiliki nama akhir udik/ilir. Terang saja ada wilayah bernama Meruya Udik dan Meruya Ilir, ya? Ternyata begitu asal-usulnya.

Kedua dari segi sejarah. Nah, perlu Baraya ketahui bahwa budaya mudik ini sudah ada sejak zaman kerajaan Majapahit dan Mataram Islam, loh. Hal ini dijelaskan oleh Dosen Sejarah di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, ialah Silverio Raden Lilik Aji Sampurno. Saat itu, kerajaan Majapahit memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas hingga Sri Lanka dan Semenanjung Malaya. Sehingga, raja menempatkan para pejabat kerajaan di berbagai daerah untuk menjaganya. Pada waktu tertentu, para pejabat itu pulang untuk menghadap raja sekaligus mengunjungi kampung halaman. Nah, sama halnya dengan kerajaan Mataram Islam yang memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas. Sehingga, para pejabat kerajaannya hanya pulang ketika Idul Fitri. Relate dengan zaman sekarang juga ya, Baraya? Sebab budaya mudik hanya dilakukan di waktu-waktu tertentu saja, seperti hari raya Idul Fitri, Idul Adha, Natal, dan tahun baru.

Ketiga dari segi tujuan. Kalau dulu orang-orang mudik ke kampung halaman dengan tujuan untuk mengunjungi orang tua dan mengingat asal-usul mereka, sekarang sudah berbeda lagi. Saat ini mudik juga dijadikan kesempatan untuk silaturahmi dengan kerabat di kampung halaman. Maklum, bertemu dan berkumpul bersama kerabat sangat jarang terjadi karena sudah berbeda tempat tinggal. Selain itu, karena mudik lebaran identik dengan istilah THR (Tunjangan hari Raya), maka tujuan mudik lainnya yaitu untuk berbagi sedikit rizki yang dihasilkan dari pekerjaan di perantauan. Tak jarang juga ada yang menjadikan mudik sebagai ajang menunjukkan eksistensi keberhasilannya di perantauan. Namun, tujuan yang terakhir inilah yang lebih menarik, yaitu sebagai terapi psikologis menikmati suasana kampung halaman setelah setiap hari bergelut dengan hiruk-pikuk pekerjaan di perantauan. Kalau menurut Baraya sih, inilah yang dinamakan healing. Betul, kan?

Nah, itulah tiga fakta mengenai mudik lebaran. Baraya, kapan mudik ke Majalengka?

Sumber terkait:
id.wikipedia.org
indonesiabaik.id
kompas.tv


Post a Comment

0 Comments