Sepertiga Malam





InfoMJLK.Id — Mulut Bangsad komat-kamit. Dari mulutnya keluar jampi/mantra terampuh mendatangkan bencana yang ia susun bersama Habib Jamrong. Kata demi kata ia baca dengan penuh penghayatan. Tak hanya satu lembar yang terdiri dari 200 kata, lima lembar dia lafalkan dengan telaten di sepertiga malam


Derit jendela kamar dan detak jam dinding tidak membuat fokus Bangsad teralihkan. Kompaknya suara dua benda tersebut justru menjadi lagu pengiring yang membuatnya semakin khusyuk memohon.


“Tuhanku, biarkan umat manusia di bangsa ini sangat menderita. Kirimkan hujan yang deras selama dua jam saja cukup, kok. Cukup membuat air bah menghanyutkan rumah mereka dan segera mengunjungiku,"kata Bangsad dengan lantang. 


Dadanya membusung dan dia mengambil nafas dalam-dalam. Dengan suara yang berat dan lirih, ia melafalkan kembali mantranya. 


“Ini serius Tuhan. Biarkan mereka hidup bergelimang penderitaan dan bersahabat dengan kehilangan. Jika sudah, tolong tumbuhkan harapan mereka untuk hidup dengan baik-baik saja. Layaknya orang-orang yang --kaya enggak, miskin enggak-- yang biasa nonton sinetron selepas magrib.”


Bunyi hujan menghantam atap mulai terdengar. Awalnya hanya rintik, lama-lama bergemuruh kuat. Jendela kamar pun bergerak tak berirama. Tapi, itu tak mengurangi konsentrasi Bangsad sedikitpun dalam doanya. 


“Aku serius Tuhan. Mendoakan orang-orang menderita lebih baik daripada mengkafirkan orang-orang yang taat mengunjungi rumah ibadah. Itu sebuah ucapan yang memaksa orang-orang berbeda masuk neraka. Melebihi kuasamu.”


“Jika tuhan ingin tahu, dan harus tahu. Orang-orang yang menderita akan berjajar ke kantorku besok. Mereka akan melamar di kantorku. Tanpa wawancara dan tidak harus menunjukkan curriculum vitae. Mereka juga tidak usah fasih berbahasa Inggris. Mereka cukup berkomitmen dan mematuhi perintahku.”


Tikus-tikus di atap rumah Bangsat mulai kedinginan. Mereka coba menghangatkan tubuh dengan berlari-lari yang membuat bising kamar. Jika masih kedinginan, mereka akan coba bertarung meski itu mengancam jiwanya. Tapi, itu tak penting, yang penting badan terasa hangat. 


“Semakin banyak yang melamar. Semakin tenang dan kaya hambamu ini tuhan. Apalagi, besok ibu pejabat negara akan berkunjung. Mereka akan membagikan makanan menjelang buka puasa. Setiap pembagian, mereka butuh 200 orang yang wajahnya memelas dan kelaparan.”


“Nanti pegawaiku akan aku kerahkan. Mereka akan berjajar di pinggir jalan. Ada yang berperan jadi pemulung. Ada juga duda yang menggendong bayi. Atau peran lainnya sesuai rekues ibu pejabat.” 


Bangsad masih menundukkan wajahnya ke tempat sujud. Lembar demi lembar doa yang ia susun selama seminggu menjelang puasa terus dibuka. Tangannya tentu saja masih menengadah. Terbuka lebar. Sesekali air mata Bangsad menetes. Bukan bersedih, tapi berharap tuhan mewujudkan doa-doanya. 


“Satu orang dihargai 200 ribu rupiah. 100 ribu untuk mereka bawa pulang. 100 ribu untuk aku. Nanti 2 persen dari pendapatanku, aku akan kirim ke badan-badan zakat resmi yang dipenuhi orang-orang kaya. Biar mereka yang menyalurkan.”


“Adil bukan tuhan? Mereka dapat makan, dapat uang, dan bisa pulang ke rumah dengan keyakinan besok bisa kembali hidup meski rumah mereka terendam banjir atau terbakar petir. Apapun itu.”


“Dan ibu pejabat itu akan mendapat penilaian bagus dari orang-orang. Karena, kata mereka, saat pembagian, tim humas akan diturunkan dengan kekuatan penuh. Tidak boleh ada momen menyedihkan terlewat.”


Udara yang dingin membuat Bangsad kebelet. Ia bangkit dari doa dan langsung menuju kamar mandi. Badannya tiba-tiba bergedik kenikmatan. Matanya tertutup. Setelah tuntas, ia menyiram dua kali agar bau pesing tidak sampai ke kamarnya. 


“Rumit sebenarnya tuhan menuruti pesanan pejabat-pejabat negara. Beda dengan youtuber. Mereka hanya butuh lima orang saja. Tapi bayarannya sungguh luar biasa. 500 ribu per orang. Dari situ, saya hanya ambil 200 ribu saja karena pekerja saya harus pandai menjawab pertanyaan-pertanyaan youtuber dalam waktu lima menit. Memusingkan. Tidak jarang saya harus menyiapkan jawabannya biar penonton hatinya terenyuh.”


Bangsad mulai membuka lembar terakhir doanya. Ia kembali menarik napas dalam-dalam. Ia ingin lembar terakhir ini dilapalkan dengan penuh keikhlasan. Dengan penuh keyakinan bahwa besok, tuhan akan membuat umat manusia di bangsa ini menderita, dan mengunjungi kantornya untuk melamar kerja. 


“tuhan.. tolong hamba ini. Kabulkan semua doa hamba. Hamba ingin menjadi penolong orang-orang kesulitan. Ini ladang rezeki terbaik. Dunia diraih. Akhirat dijamin. Biarkan tuhan air mata mereka mengalir di depanku. Biarkan aku.... membantu mereka dengan koneksi bisnis yang sudah aku bangun dua tahun lalu ini. tuhan-tuhan. oh tuhanku.”


Bangsad bangkit dari sejadahnya. Ia pun langsung merebahkan badannya. Ia mencari kesunyian dalam ponselnya. Akhirnya lagu Sigur Ros ia putar. Matanya kembali terkatup dan berharap doanya mekar delapan jam kemudian. 


Di luar hujan semakin deras.

Post a Comment

0 Comments