Mengenal Rumah Adat Panjalin yang Jadi Saksi Bisu Penyebaran Islam di Majalengka





 InfoMJLK.Id — Selain kaya destinasi wisata alam, Kabupaten Majalengka memiliki banyak tempat peninggalan bersejarah yang bisa dikunjungi. Salah satunya yaitu Rumah Adat Panjalin.


Rumah Adat Panjalin merupakan bukti peninggalan bersejarah yang dibangun pada masa Sunan Gunung Jati saat menyebarkan Islam di wilayah Jawa bagian barat. 


Tempat ini berlokasi di Blok Dukuh Tengah, Desa Panjalin Kidul, Kecamatan Sumberjaya.


Rumah Adat Panjalin menjadi saksi bisu penyebaran Islam di Majalengka. 


“Rumah adat ini dibangun pada zaman Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Ini (Rumah Adat Panjalin) jadi saksi bisu penyebaran Islam di Majalengka," kata Iyang Saeful Ikhsan juru bicara Rumah Adat Panjalin, Jumat 23 April 2021.


Bangunan ini berdiri pada akhir abad ke-14. Meski sudah berusia lebih dari 500 tahun, Rumah Adat Panjalin ini masih kokoh. Rumah Adat Panjalin mengambil konsep rumah panggung dengan 16 tiang penyangga di bawahnya yang seluruh bagian rumah ini dibuat menggunakan kayu jati.


Dibangunnya Rumah Adat Panjalin ini berawal saat Sunan Gunung Jati memerintahkan Syekh Syahroni atau dikenal dengan Pangeran Atas Angin untuk menyebarkan Islam di wilayah barat pulau Jawa. Misi pertama Pangeran Atas Angin kala itu adalah mengajak penguasa Rajagaluh untuk memeluk agama Islam.


Saat menjalankan tugasnya, menurut Saeful, Pangeran Atas Angin kemudian bertemu dengan utusan Kerajaan Mataram yakni Nyi Larasati. 


“Keduanya pun menikah dan memilih tinggal di sebuah hutan yang penuh dengan pohon rotan. Pangeran Atas Angin kemudian dikaruniai seorang putri bernama Seruni," kata Saeful.


Masih kata Saeful, setelah dewasa Seruni bertemu dengan Raden Sanata, seorang santri dari Pesantren Pagar Gunung yang juga masih keturunan darah biru dari kerajaan Talaga.


Raden Sanata yang terpikat dengan kecantikan Seruni kemudian berusaha untuk meminangnya. Namun Pangeran Atas Angin memberi suatu syarat kepada Raden Sanata. Raden Sanata diharuskan membabat habis hutan rotan yang begitu luas.


"Raden Sanata akhirnya bisa memenuhi syarat itu, kemudian dibangunlah sebuah rumah panggung. Rumah panggung itulah yang saat ini menjadi Rumah Adat Panjalin," tutur Saeful.


Rumah Adat Panjalin ini, kata Saeful, menjadi saksi bisu dari Perang Kedongdong antara pasukan Bagus Rangin dan kolonial Belanda sekitar tahun 1812 hingga 1816.


Saeful menceritakan saat Perang Kedongdong terjadi, Rumah Adat Panjalin dijadikan tempat berlindung pasukan Ki Bagus Rangin. Saat itu gerombolan kolonial Belanda mengejar pasukan Ki Bagus Rangin.


"Ketika Perang Kedongdong rumah ini tempat ngumpetnya pasukan Ki Bagus Rangin. Saat itu gerombolan kolonial menyerang, namun mereka tidak melihat apapun saat sampai di rumah ini, jadi seolah-olah pasukan Ki Bagus Rangin tidak terlihat dan dilindungi," ujarnya.


"Kemudian saat gerombolan kolonial tertidur, pasukan Ki Bagus Rangin mengerjainya dengan mencoret-coret wajah dari gerombolan kolonial. Saat terbangun mereka pun kaget dan menganggap ada kehidupan tak kasat mata di lokasi itu," Saeful menambahkan.


Sejak saat itulah gerombolan kolonial itu meninggalkan lokasi tersebut dan berjanji tidak akan mengganggu warga Panjalin. Rumah bersejarah seluas 8x9 meter ini masih dirawat dan dijaga warga setempat. Rumah Adat Panjalin juga sesekali dijadikan tempat peringatan budaya yang rutin digelar tiap tahunnya.


"Sekarang cuma dipakai acara tahunan saja, misalnya hari jadi Panjalin, saat guar bumi atau musim tanam, baru rumah ini ramai oleh warga kumpul di sini buat menggelar syukuran," ucap Saeful.


Sumber: Detik.com

Post a Comment

0 Comments