Seandainya


Penulis adalah salah satu staff pendidik di bidang Pendidikan Bahasa Indonesia, clue cadel dan pintar merangkai kata, apalagi masa depan.

 


Source : Muslim.or.id

Aku ingin kembali. Kembali pada setiap masa yang kurasa itu tak ingin dan tak boleh berakhir. Masa-masa ketika kumbang hinggap pada sekuntum bunga. Masa-masa ketika madu selalu manis dan tak pernah ada racun. Masa-masa ketika setiap detiknya hanya kuhabiskan bersama orang-orang yang kucintai. Seandainya waktu dapat kuhentikan dan kuputar sesuka hati, mungkin aku akan selalu melakukannya setiap aku ingin melakukannya.

Aku sangat rindu. Rindu dengan beberapa jiwa yang pernah meluangkan sedikit dan banyak waktunya untukku. Jiwa-jiwa yang masih bernyawa dan sebagian telah tertidur lelap di alam sana. Sakit itu... Sakit menahan rasa rindu yang mengendap dan tak pernah terobati dengan hal-hal yang selalu kuharapkan dapat terjadi. Bagaimana pun, semua masa yang telah kulewati hanyalah sebatas kenangan. Kenangan yang tersimpan dalam memori ingatanku.

Berlaku pula pada hal persahabatan. Mereka, aku tak tahu siapa mereka. Apakah ada ikatan tali persaudaraan denganku? Tidak. Mungkin masih kerabat? Tidak. Aku tak kenal siapa mereka. Sejujurnya, apa yang membuat aku begitu yakin dan begitu dekat dengan mereka yang dulu tak kukenal dan sekarang tak dapat kulupakan? Dia, mereka, bisakah kita bersama lagi? Seandainya...

Pertemuan yang singkat di halte bis. Saat itu hujan begitu deras dan petir tak segan-segan tertawa memperlihatkan cahayanya yang kilat. Namanya Isabella. Ya, gadis berambut panjang yang kedinginan di halte bis wajahnya tampak pucat pasi. Kuajak dia ke rumah untuk menghangatkan badan di depan api unggun. Dia cantik, terlihat sangat baik dengan sikapnya yang selalu tersenyum. Bella seorang yatim piatu yang tinggal di panti asuhan. Aku sangat prihatin dengan keadannya.

Perkenalan yang menjadi persahabatan itu menjadikanku orang yang lebih baik. Bella menderita kanker otak stadium tiga. Entahlah, aku pun tak mengerti dengan sikapnya yang selalu ceria tak sedikit pun dia terlihat sebagai orang sakit. Orangtuanya meninggal karena peristiwa kebakaran rumahnya. Alhasil, dia dapat diselamatkan oleh tim pemadam kebakaran. Saat itu dia berusia enam tahun. Baiklah, cukup sudah penderitaan yang dia alami sedari kecil.

Bella sering menginap di rumahku. Menemani malam-malam indahku yang hari-hari sebelumnya hanya kuhabiskan berdua bersama Ayah. Ya, begitulah. Karena Ibu sudah meninggal ketika melahirkanku. Hidup ini pahit. Hingga aku tak dapat merasakan rasa pahit itu lagi. Hingga aku mati rasa dengan kepahitan itu. Namun apa yang kudapat jika aku terus memikirkan ketidakadilan Tuhan memberikan kepahitan hidup? Sungguh, sejatinya Tuhan telah merencakan hal-hal yang indah yang tak pernah kuketahui.

Ketika masuk SMA, Bella memutuskan untuk ikut denganku bersekolah di sekolah yang sama. Sudah kubilang, dia memang cantik. Hingga seorang teman sekelasku yang bernama Daniel memaksaku untuk memperkenalkannya pada Bella. Baiklah, ini adalah ketujuh kalinya aku harus menjadi biro jodoh. Namun apa yang terjadi? Beberapa diantara mereka hanya main-main. Sedangkan Bella tak ingin seorang laki-laki hanya menyukainya dari fisik.

Tiga minggu berlalu Daniel pun sering mengantar dan menjemput Bella ke sekolah. Bella selalu menelefonku dengan permintaan maafnya yang tidak bisa berangkat dan pulang bersamaku. Apa boleh buat, mungkin dia sudah membuka hati untuk Daniel. Itu tandanya Daniel tidak seperti laki-laki yang sebelumnya pernah mendekati Bella. Entahlah, itu hanya perkiraanku saja. Sebenarnya aku tak menyetujui Daniel mendekati Bella. Aku rasa dia sama saja dengan yang lainnya. Aku pun sering mencemaskan keadaan Bella yang akhir-akhir ini kondisinya lemah.

Sore itu hujan kembali mengguyur kota kelahiranku. Deras, ditemani kehadiran petir. Aku cemas memikirkan Bella yang belum pulang ke panti setelah Ibu Dewi menelefonku.

“Ayah, aku akan mencari Bella. Bu Dewi baru saja menelefonku, Bella belum pulang ke panti.” Ucapku meminta izin ke luar untuk mencari Bella.

“Iya. Hati-hati, Sofi. Hujannya sangat deras.”

Langkahku tergesa-gesa menuju sekolah. Pikiranku saat itu kacau tak terbersit sedikit pun di mana Bella berada. Aku hanya mengikuti kata hatiku yang cenderung ingin mencari Bella ke sekolah. Pak Ruben tampak sedang memakai jas hujan. Biasanya tepat pukul lima sore dia akan mengecek semua kelas dan mengunci semua ruangan yang ada di sekolah.

“Pak Ruben!” Teriakku padanya. Hujan yang begitu deras membuat suaraku tak terdengar olehnya.

“Non Sofi? Mau ngapain ke sekolah?” Jawabnya sama-sama meninggikan suara.

“Aku harus mencari Bella. Dia belum pulang. Bapak tolong ikut mencari, ya?”

“Iya, Non.”

Aku menyusuri setiap sudut ke sekolah. Menggebrak semua pintu kelas satu per satu. Perasaanku semakin tak nyaman. Aku takut sesuatu terjadi pada Bella. Langkahku bergegas menuju kelas Bella. Sial. Aku tersandung dan lututku terluka. Aku sudah tak mencemaskan kakiku yang terluka. Aku hanya mencemaskan Bella.

Kudapati tubuh seorang gadis yang kukenal sedang mencoba berdiri. Darah yang keluar dari hidung mengotori seragam putih abu-abunya. Isabella...

Langit berganti jubah. Kini yang dia kenakan adalah jubah hitam. Tak ada mentari yang menyinari jubahnya. Hanya ada bulan ditemani satu bintang. Dulu, Ayah sering bercerita setiap malam. Jika langit hanya ditemani satu bintang, atau tak ada bintang satu pun, itu berarti besok akan hujan. Entah itu hanya dongeng seorang Ayah pada putrinya yang akan tidur, atau memang cerita yang akan menjadi nyata. Tapi cerita itu selalu terjadi, dan benar keesokan harinya hujan pun mengguyur bumi.

“Sofi...”

“Kenapa kamu ke sini? Kamu istirahat saja di dalam.”

“Aku tidak enak. Om sedang menjahitkan sweater untukmu, tapi aku mengajaknya berbincang-bincang.”

“Tidak apa-apa.” Balasku dengan senyum.

“Sofi?”

“Jangan katakan sesuatu yang konyol.” Balasku sambil menatap langit.

“Aku minta maaf, karena...”

“Aku sudah bilang, jangan katakan sesuatu yang konyol.”

“Dengarkan aku, sebentar saja. Sofi, maaf karena aku selalu membuatmu dan ayahmu susah. Kamu lihat bulan itu?”

“Hmm. Ya, aku sedang melihatnya.”

“Bulan itu adalah aku. Dan kamu bintangnya. Malam ini bintang hanya ada satu, kan? Bintang itu adalah bintang terbaik. Karena dia lebih memilih menemani bulan yang hanya memiliki sedikit cahaya untuk menyinari bumi. Seperti kamu.”

“Aku?”

“Ya. Kamu adalah gadis terbaik. Karena kamu lebih memilih menemaniku yang hanya memiliki sedikit nyawa untuk menjalani hidup.”

“Isabella?”

“Aku akan mengobati lukamu, ya? Jangan cemaskan aku. Aku sudah baikan, kok.”

Setelah melihat Daniel berpegangan tangan dengan Rosie di gerbang sekolah, Bella mengurungkan niatnya untuk pulang ke panti. Ditambah lagi sakit yang menyerang otaknya datang tiba-tiba sehingga dia tidak mampu berjalan dan hanya merasakan sakit dengan bercucuran darah dari hidungnya. Bella merasa bersalah karena tidak mendengarkan pendapatku mengenai Daniel. Ternyata apa yang kuucapkan padanya bahwa aku tidak menyetujui Daniel mendekati Bella, itu terbukti.

Isabella, sebenarnya hatimu terbuat dari apa? Sehingga kamu dapat bertahan sekuat ini? Hatimu jauh lebih kuat daripada fisikmu yang lemah setiap kaker itu menyerang otakmu. Beribu kepahitan hidup kamu jalani tanpa mengeluh dan putus asa. Mungkin Tuhan memperkenalkanku pada Bella agar aku dapat menjadi jiwa yang lebih sempurna. Dan itu benar terjadi.

Pagi itu, Daniel mengikutiku dari belakang. Aku tahu bahwa itu Daniel. Aku mengajak Bella untuk berjalan cepat agar Daniel tidak bisa mengejar Bella. Terlambat, kakiku masih sakit sehingga Daniel berhasil mendahuluiku dan berhenti tepat di hadapan Bella.

“Bella, kita harus bicara.” Daniel menarik tangan Bella.

“Urusan Bella urusanku juga. Bicara saja di sini, katakan saja apa alasanmu bergandengan tangan dengan Rosie?”

“Sof, ini gak seperti yang kamu lihat. Aku...”

“Aku gak lihat. Bella yang melihatnya.” Jawabku menyentak.

“Sofi, sudahlah. Jangan berbicara keras, nanti teman-teman yang lain melihat.” Bella mengelus pundakku.

“Tapi, Bel...”

“Daniel. Maaf, kita gak bisa melanjutkan hubungan ini lagi. Aku sudah membuat kaki Sofi terluka. Dan aku gak perlu mendengarkan penjelasan kamu, kok. Lebih baik kita jadi teman saja. Terimakasih untuk selama ini. Aku masuk kelas ya, Sof?”

“Jaga diri kamu baik-baik. Jam istirahat nanti aku jemput.”

Sepulang sekolah, aku mengantar Bella membeli novel. Saat itu aku tengah membeli makanan ringan di supermarket yang letaknya bersebrangan denga toko buku. Ketika aku ke luar dari pintu supermarket, aku melihat Bella tengah menyerka darah yang menetes sambil menyebrang jalan. Tak dapat kuhentikan mobil yang melaju kencang itu.

Tuhan, cobaan apa lagi yang Kau berikan untuk Bella? Apakah dia harus menjalani kepahitan ini sendiri? Apa yang membuat dia harus menerima semua kepahitan ini? Dia terlalu baik, Tuhan. Dia sahabatku. Tak henti tangisku menemani keheningan malam. Menatap langit sendirian yang hanya ditemani bulan dan satu bintang.

Bella menemaniku merebah di atas rumput yang hijau di taman rumahku. Saat ini dia tak bisa melihat bagaimana bintang masih setia menemani bulan. Gelap. Hanya gelap yang dia lihat. Tak ada secercah sinar sedikit pun. Ya, Bella menjadi buta setelah kecelakaan itu. Aku terpuruk. Dan ini sedikit aneh, seharusnya Bella yang merasakan itu.

“Sof, apakah malam ini bintang masih menemani bulan?” Bella menggenggam tanganku.

“Masih. Tak berubah sedikit pun.” Jawabku dengan suara parau menahan tangis.

“Terimakasih, Tuhan.” Dia membalas dengan senyum.

“Bella, aku akan selalu menjadi bintang itu. Aku akan selalu menemani kamu. Aku gak akan meninggalkan kamu.”

“Kalau aku yang meninggalkanmu, bagaimana rasanya?”

Rasanya sakit. Ya, sakit menahan sesak di dada sendirian. Sakit mengingat masa-masa itu. Sakit memandang langit yang hanya ada bulan dan satu bintang menggantung. Sakit. Isabella... Aku rindu...

Malam itu adalah malam terakhir untukku bersama Bella. Karena setelah malam itu, esok paginya Bella harus melewati masa kritisnya di rumah sakit. Sakit memandang sosok tubuh yang terbaring lemah dengan beberapa alat yang menempel di tubuh Bella. Hanya mampu menangis tanpa air mata. Air mataku sudah mengering seketika malam terakhir itu.

“Sof...”

“Ada apa?” Jawabku dengan pandangan kosong di sebuah danau yang dulu sering aku kunjungi bersama Bella.

“Aku tahu kamu ada di sini dari ayahmu. Kenapa kamu gak pernah sekolah?”

“Aku berhenti sementara karena harus mengurus Bella. Aku akan melakukan apa pun demi Bella, sekali pun itu sekolahku.”

“Sof, aku benar-benar menyesal. Mungkin aku adalah orang yang paling menyesal di dunia. Aku benar-benar hina. Aku...”

“Kamu gak perlu menyesali semuanya. Untuk apa? Untuk berharap Isabella kembali? Gak bisa, Daniel. Itu mustahil.”

“Aku yang menabrak Bella dan membuatnya buta, Sof.”

Seketika pandanganku menuju pada wajah Daniel yang putih. Tak mungkin aku memukulnya begitu saja. Aku selalu ingat apa yang dikatakan Bella. Aku tak boleh melakukan hal-hal yang tak perlu kulakukan. Biar Tuhan yang memberi skenario selanjutnya.

“Aku... Aku gak sengaja, Sof.”

“Semuanya jelas, Daniel. Biar saja kamu rasakan sesal-sesal itu sendirian. Aku sudah cukup, kamu gak perlu banyak bicara lagi.”

“Tapi, Sof...”

“Cukup, Daniel. Biarkan Bella tenang dan gak perlu merasakan sakit yang menyerang otaknya lagi. Cukup.”

“Maksud kamu, Sof?”

“Kanker otak stadium tiga.” Balasku sambil meninggalkan Daniel yang menangis sendirian merasakan sesal-sesal yang mengendap dalam hatinya.

 

Post a Comment

0 Comments