Tradisi Bubur Sura: Warisan Kuliner Khas 10 Muharram di Majalengka yang Penuh Makna

Source: Ilustrasi / Google

infomjlk.id — Tanggal 10 Muharram, dalam kalender Hijriah, bukan sekadar hari biasa bagi masyarakat Muslim. Selain menjadi momen beramal dan menyantuni anak yatim, tanggal ini juga sarat dengan tradisi kuliner yang unik dan penuh makna, salah satunya adalah Bubur Sura. Di Kampung Kaputren, Desa Putridalem, Kecamatan Jatitujuh, Majalengka, tradisi pembuatan bubur istimewa ini telah berlangsung turun-temurun, menjadi bagian tak terpisahkan dari peringatan 10 Muharram setiap tahunnya. 


Bubur Sura, demikian masyarakat setempat menyebutnya, merupakan hidangan yang hanya bisa ditemui selama bulan Muharram, bulan pertama dalam penanggalan Islam. Meski beberapa keluarga membuatnya sepanjang bulan Muharram, bagi warga Kampung Kaputren, puncak tradisinya jatuh tepat pada tanggal 10 Muharram. 


"Kami sudah rutin tiap tahun bikin Bubur Sura tiap tanggal 10 Muharram," ungkap Carti, seorang sesepuh dan inisiator tradisi ini. 


"Sebenarnya masyarakat biasa bikin Bubur Sura ini sepanjang bulan Sura, tapi kalau kami mah tiap tanggal 10." 


Berakar dari Kisah Nabi Nuh: Tradisi yang Bertahan Sejak Leluhur 


Bagi Mak Titi, sapaan akrab Carti, tradisi Bubur Sura bukanlah hal baru. Ia menjelaskan bahwa kebiasaan ini telah diwariskan dari generasi ke generasi, jauh sebelum ia lahir. 


"Dari dulu, ibu sama nenek saya sudah biasa bikin Bubur Sura. Malah katanya dari mbah dulu, sudah bikin," tuturnya. 


Menurut Mak Titi, cerita di balik tradisi Bubur Sura ini berakar pada kisah Nabi Nuh AS. Konon, Nabi Nuh selamat dari bencana banjir besar pada tanggal 10 Muharram. 


"Nabi Nuh selamat dari musibah pada tanggal 10 Muharram. Dari kisah itu lah, sejak orang tua dulu, kami biasa bikin bubur sura dan bertahan hingga zaman saya ini," jelasnya, menyoroti makna filosofis di balik hidangan sederhana ini. 


Gotong Royong dan Dapur Umum: Semangat Kebersamaan di Balik Bubur Sura 


Proses pembuatan Bubur Sura di Kampung Kaputren adalah cerminan nyata dari semangat gotong royong. Belasan orang terlibat aktif dalam setiap tahapan, mulai dari meramu bahan hingga memasak dan mengemas. Menariknya, tidak ada pembagian tugas yang kaku; setiap orang secara sukarela mengambil perannya masing-masing. 


Untuk tahun ini, tidak kurang dari satu kuintal beras disiapkan untuk membuat Bubur Sura. Jumlah ini bahkan bisa lebih karena sumbangan bahan dari warga lainnya. Dengan volume bahan yang besar, Mak Titi berinisiatif mendirikan 'dapur umum' untuk mempercepat proses masak. Uniknya, mereka tidak menggunakan kompor, melainkan kayu bakar, menambah kesan tradisional pada keseluruhan proses. 


Bubur yang telah matang kemudian dibagikan kepada seluruh masyarakat di kampung, bahkan hingga ke luar desa. 


"Bubur ini kami bagikan ke masyarakat di kampung. Bahkan ke luar desa. Alhamdulillah, masyarakat cukup kompak," kata Mak Titi, menunjukkan bagaimana tradisi ini juga mempererat tali silaturahmi. 


Keunikan Rasa dan Tampilan: Bubur Sura yang Menggugah Selera 


Berbeda dari bubur pada umumnya, Bubur Sura memiliki keunikan tersendiri. Adonan bubur dimasak bersama berbagai sayuran seperti ubi, jagung, dan kedelai. Bumbunya pun kaya rempah, dengan tambahan serai, garam, gula, dan parutan kelapa, menghasilkan cita rasa gurih yang khas bahkan tanpa topping. 


Untuk memperkaya rasa dan tampilan, Bubur Sura juga dilengkapi dengan beragam topping cantik. Ada suwiran telur, mie, tauge, dan irisan cabai merah yang menambah sentuhan pedas dan segar. Beberapa masyarakat bahkan menambahkan irisan jeruk bali, memberikan aroma dan rasa yang lebih kompleks. Kombinasi bahan-bahan ini menjadikan Bubur Sura bukan hanya sekadar makanan, melainkan sebuah hidangan istimewa yang hanya dapat dinikmati pada momen-momen tertentu di bulan pertama tahun Hijriah.

Post a Comment

0 Comments