Ternyata, Ini Alasan Pekerja di Majalengka Tetap Mengeluh Meski UMK Sudah Naik!

Source: Ilustrasi / Google

infomjlk.id — Kenaikan upah minimum selalu menjadi ritual tahunan yang memancing harapan sekaligus kekhawatiran. Harapan bagi pekerja yang mendambakan kehidupan lebih layak, kekhawatiran bagi pelaku usaha yang dibayangi beban operasional yang meningkat. Di Majalengka, fenomena ini mencerminkan persoalan struktural yang lebih kompleks, yaitu sistem penetapan upah yang belum menjawab tantangan keadilan ekonomi dan produktivitas sektoral. 


Meski secara nominal upah minimum cenderung meningkat tiap tahun, banyak pekerja masih merasa belum merasakan dampak riil terhadap kesejahteraan mereka. Hal ini tidak terlepas dari mekanisme penetapan UMR yang, menurut para ahli, masih bersifat adhoc, tidak transparan, dan minim akuntabilitas. 


Dilansir dari Kabar Majalengka, Dr. H. Diding Bajuri, akademisi dan pengamat ketenagakerjaan dari Pascasarjana Universitas Majalengka, menyoroti bahwa formulasi upah minimum saat ini cenderung mengabaikan variabel penting seperti produktivitas sektor, kemampuan bayar pengusaha, dan elastisitas pasar kerja. 


“Ketika upah minimum ditetapkan tanpa mempertimbangkan daya serap sektor usaha marginal, maka risiko yang timbul bukan hanya stagnasi kesejahteraan pekerja, tetapi juga meningkatnya angka pengangguran,” ujarnya. 


Dampak lanjutannya tidak bisa dianggap enteng. Kenaikan upah tanpa perhitungan yang komprehensif dapat menimbulkan efek domino: harga barang melonjak, pelaku UMKM kehilangan daya saing, dan potensi investasi daerah menurun. Dalam konteks Majalengka yang tengah bersiap menjadi kawasan industri strategis, hal ini menjadi tantangan serius yang harus segera direspons. 


Diding menyarankan perlunya reformulasi sistem pengupahan nasional dan daerah dengan pendekatan yang lebih progresif. Tidak cukup hanya berpatokan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL), tetapi harus dikombinasikan dengan analisis produktivitas sektoral, pertumbuhan ekonomi lokal, serta dialog tiga pihak yang inklusif: pemerintah, serikat buruh, dan pelaku usaha. 


Lebih jauh, Majalengka justru berpotensi menjadi laboratorium kebijakan atau pilot project untuk sistem upah berbasis produktivitas daerah. Dengan pertumbuhan infrastruktur dan ekonomi yang relatif dinamis, Majalengka memiliki prasyarat yang cukup untuk merumuskan model pengupahan yang adaptif, adil, dan berkelanjutan. Namun, kunci utamanya tetap pada political will pemerintah daerah: apakah cukup berani menempuh jalur reformasi kebijakan yang lebih substansial? 


Pada akhirnya, polemik upah minimum bukan sekadar angka. Ia adalah cermin dari dinamika hubungan industrial, arah pembangunan ekonomi, dan keberpihakan negara pada kelompok rentan. 

Post a Comment

0 Comments