infomjlk.id — Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung) kini memiliki kemampuan untuk melakukan penyadapan terhadap nomor-nomor telepon seluler dari empat operator telekomunikasi terbesar di Indonesia, yaitu Telkomsel, Indosat, XL, dan Smartfren. Kewenangan baru ini didapatkan setelah Kejagung secara resmi menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dengan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk., PT Telekomunikasi Selular, PT Indosat Tbk., dan PT XL Smart Telecom Sejahtera Tbk.
MoU tersebut memberikan izin bagi Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen (Jamintel) Kejagung untuk menginstal dan mengoperasikan perangkat penyadapan informasi. Langkah ini diambil dengan tujuan utama mendukung upaya penegakan hukum di Indonesia.
Jamintel, Reda Manthovani, menjelaskan bahwa kerja sama ini merupakan strategi kunci untuk memperkuat tugas intelijen kejaksaan dalam mengumpulkan data dan informasi hukum. "Inti bisnis intelijen kejaksaan saat ini berpusat pada pengumpulan data dan/atau informasi yang selanjutnya akan dianalisis, diolah, dan digunakan sesuai kebutuhan organisasi," ujar Reda pada Kamis, 26 Juni 2025. Ia juga menekankan pentingnya data yang valid untuk melacak buronan, menyelidiki kejahatan digital, dan menyusun analisis kejahatan lintas sektor.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menegaskan bahwa tindakan penyadapan ini sepenuhnya sah secara hukum, merujuk pada Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang ITE. Pasal tersebut memang mengatur intersepsi untuk kepentingan penegakan hukum atas permintaan lembaga penegak hukum seperti kepolisian atau kejaksaan. Harli mencontohkan, pelacakan Daftar Pencarian Orang (DPO) sering kali memerlukan pelacakan intensif melalui nomor telepon. Meskipun demikian, Harli menjamin bahwa privasi publik tidak akan dilanggar tanpa batas, mengingat hal tersebut tidak diperbolehkan.
Namun, kewenangan baru ini segera memicu perhatian dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Ketua DPR RI, Puan Maharani, langsung mengingatkan Kejagung untuk memastikan perlindungan data pribadi warga negara tetap terjamin. "Penegakan hukum sangat penting, tetapi Kejaksaan harus memperhatikan hak atas perlindungan data pribadi karena hak privat adalah hak konstitusional," tegas Puan. Ia menekankan bahwa kolaborasi teknologi harus berjalan dalam koridor akuntabilitas, transparansi, dan penghormatan hak sipil.
Peringatan serupa juga disampaikan oleh Anggota Komisi III DPR RI, Sarifuddin Sudding, yang mendukung penegakan hukum berbasis teknologi namun mendesak adanya pengawasan ketat terhadap mekanisme penyadapan. "Upaya penegakan hukum jangan sampai melanggar privasi masyarakat. Penegak hukum tidak boleh serta merta melakukan penyadapan tanpa tujuan hukum yang jelas," kata Sudding, mengingatkan bahwa penyadapan harus menjadi opsi luar biasa yang dijalankan sesuai undang-undang demi menjaga kepercayaan publik.
Anggota Komisi III DPR lainnya, Martin Tumbelaka, menyoroti perlunya akuntabilitas prosedural. Ia mendukung MoU ini asalkan disertai pengawasan ketat dan melibatkan lembaga independen seperti Komnas HAM dan Komisi Informasi. Martin menambahkan bahwa penyadapan seharusnya dibatasi hanya untuk kasus pidana berat, terutama korupsi dan pencucian uang, dengan mekanisme perizinan dan evaluasi berkala.
Secara keseluruhan, baik publik maupun anggota DPR sepakat bahwa penyadapan sah dilakukan demi keadilan, selama tetap dalam koridor hukum dan dilakukan secara transparan. "Demokrasi digital harus dibangun dengan kebijakan yang bukan hanya cepat dan efisien, tetapi juga beradab dan menjunjung tinggi etika hukum," pungkas Sudding.
0 Comments