Kerap Bikin "Harpitnas" di Kalender, Inilah Sejarah Tercetusnya Cuti Bersama di Indonesia

Source: Ilustrasi / Google, Dok. Ig @__divdiv044

infomjlk.id — Cuti bersama, yang kini akrab dikenal sebagai momen "harpitnas" atau hari kejepit nasional, ternyata memiliki akar sejarah yang cukup dramatis dan strategis. Kebijakan ini bukan sekadar celah libur panjang yang disambut suka cita, melainkan buah dari respons negara terhadap luka mendalam yang pernah mengguncang negeri: tragedi bom Bali tahun 2002. 

Setelah peristiwa memilukan itu, pemerintah merasa perlu menghidupkan kembali denyut nadi pariwisata nasional. Salah satu langkahnya adalah dengan merancang hari libur tambahan yang bisa mendorong mobilitas masyarakat, sekaligus merangsang geliat ekonomi di sektor wisata. Maka lahirlah gagasan "cuti bersama"—sebuah kebijakan yang dalam pelaksanaannya kerap disematkan di antara dua tanggal merah, menjadikannya primadona para pencari liburan panjang. 

Tradisi ini semakin menemukan momentumnya setiap menjelang Lebaran. Indonesia, dengan budaya mudiknya yang khas, menyaksikan gelombang besar warga kota yang pulang ke kampung halaman. Tanpa perencanaan libur yang matang, kemacetan dan kepadatan di jalur transportasi akan sulit dihindari. Karena itulah, cuti bersama juga diandalkan sebagai alat rekayasa sosial yang memperlancar arus mudik nasional. 

Namun di balik popularitasnya, sejarah cuti bersama juga diwarnai tarik ulur kewenangan dan tafsir hukum. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, hak prerogatif untuk menetapkan cuti bersama secara sah berada di tangan Presiden. Aturan ini, sebagaimana tertuang dalam Pasal 333, tidak membuka ruang bagi delegasi kepada menteri atau instansi lainnya. Akan tetapi, praktiknya tak selalu sesuai jalur. Penetapan cuti bersama acap kali dilakukan melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) antarkementerian, tanpa payung hukum dari Keputusan Presiden. Badan Kepegawaian Negara (BKN) bahkan pernah memperingatkan bahwa pendekatan ini bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Ketidaksesuaian ini tidak hanya menjadi polemik administratif, tetapi juga berdampak nyata pada hak cuti tahunan PNS. SKB menyebut cuti bersama mengurangi jatah cuti tahunan, sementara PP menyatakan sebaliknya. 

Penerbitan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2017 sempat menjadi angin segar karena menandai kembalinya kebijakan ke jalur konstitusional. Meski lahir mendekati Idulfitri, keputusan ini menunjukkan itikad untuk menegakkan prinsip hukum dalam administrasi negara. Sayangnya, eksistensi SKB yang tetap berlanjut justru mengaburkan garis kewenangan dan menciptakan potensi tumpang tindih regulasi. 

Fenomena ini menjadi cermin penting bagi para pemangku jabatan negara. Dalam sistem presidensial seperti Indonesia, menteri adalah pembantu Presiden, bukan pengambil keputusan utama. Setiap kebijakan yang menyentuh hak-hak sipil, termasuk cuti bersama, seharusnya tunduk pada mekanisme hukum tertinggi, bukan jalan pintas administratif. 

Sejarah cuti bersama di Indonesia, dengan segala lika-likunya, adalah potret kecil dari dinamika birokrasi yang terus belajar menjaga keseimbangan antara kepentingan publik dan ketertiban hukum. Libur panjang pun, ternyata, menyimpan kisah panjang.

Post a Comment

0 Comments