Asal-usul Tradisi Halal Bihalal di Indonesia

Source: Anri.go.id

InfoMJLK.id -- Sudah menjadi adat istiadat bagi masyarakat Indonesia, pasca lebaran akan ramai dengan agenda Halal Bihalal. Mulai dari rumah ke rumah sampai berkumpul dalam satu tempat pertemuan. Mulai dari Halal Bihalal keluarga besar, hingga lingkungan sekitar. 

Halal Bihalal sendiri sebenarnya sudah dimulai sejak KGPAA Mangkunegara I yang bernama kecil Raden Mas Said atau lebih dikenal dengan Pangeran Sambernyawa. Namun dikenal dengan istilah yang berbeda, pada masa itu Halal Bihalal dikenal dengan istilah sungkeman. 

Para prajurit sekaligus masyarakat melakukan sungkem dengan keluarga Mangkunegara, sekaligus bermaaf-maafan satu sama lain. Hal ini menegaskan bahwa tradisi silaturahmi pasca Idul Fitri (Halal Bihahal) itu sudah dimulai jauh sebelum tercetusnya istilah Halal Bihalal itu sendiri. 

Selanjutnya, berdasarkan buku "Ensiklopedia Keislaman Bung Karno" yang ditulis oleh Rahmat Sahid, tercetusnya istilah Halal Bihalal tidak lepas dari situasi politik yang berkecamuk pada masa Ir. Sukarno memimpin Indonesia, tepatnya pada tahun 1948. Negara ini mengalami disintegrasi bangsa, para elit politik saling bertengkar, tidak mau duduk dalam satu forum. Sementara pemberontakan terjadi di mana-mana, di antaranya DI/TII dan PKI Madiun. 

Bertepatan dengan bulan Ramadhan, Bung Karno memanggil K.H. Wahab Hasbullah ke Istana Negara untuk dimintai saran terkait situasi dan kondisi politik yang berkecamuk. Sang Kyai pun memenuhi panggilan Bung Karno. Duduklah dua tokoh ini untuk membahas kondisi republik yang baru berumur 3 tahun. 

Kemudian 2 tokoh tersebut mengeksekusi pemikiran itu di ranah masing-masing. Ir. Sukarno di jajaran masyarakat atas, dalam hal ini adalah para elite politik. Sedangkan K.H. Wahab Hasbullah pada masyarakat bawah dan kalangan pesantren yang memang menjadi basis para Kyai NU. 

Maka, K.H. Wahab Hasbullah, sebagai Kyai yang juga pencipta Mars Syubbanul Wathan ini menuturkan, “Sebentar lagi kan Idul Fitri, adakan saja acara pertemuan untuk silaturahmi.” Menanggapi ide tersebut, Bung Karno pun langsung menjawab saran Kyai Wahab. “Silaturahmi itu kan biasa. Saya pengen istilah lain.” 

Tanpa basa-basi Kyai Wahab dengan entengnya menjawab “Itu masalah gampang. Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturahmi nanti kita pakai istilah Halal Bihalal,” tegas Kyai Wahab. 

Atas saran Kyai Wahab, Bung Karno akhirnya mengundang para elit politik ke Istana Negara untuk Halal Bihalal. Sejak saat itu pula para elit politik bisa duduk bersama saling memaafkan dan membahas bangsa ini secara bersama-sama.

Post a Comment

0 Comments