Sampyong: Seni Tarung Adu Pukul yang Rawat Kebersamaan dan Kejujuran

Source: Infomjlk.id

Infomjlk.id -- Kesenian Sampyong dari Kabupaten Majalengka mengajarkan bahwa pertarungan bukan alasan untuk saling menodai, melainkan bersama-sama merawat kebersamaan dan kejujuran di tengah perbedaan.

Sampyong sudah ada berabad-abad lalu atau pada zaman Kerajaan Tarumanagara. Dulu, Sampyong bernama Ujungan yang merupakan tarung kuno dengan rotan sebagai alat pemukul. 

Dua orang saling berhadapan dengan iringan Gamelan Pencak Silat. Ibing Pencak Silat yang didentumkan petarung maupun wasit (maladang) membuat pertarungan semakin meriah.

Mereka yang bertarung mendapatkan kebebasan untuk memukul ke arah mana saja dan sebanyak-banyaknya sampai lawannya kesakitan dan menyerah. Pemenang akan menjadi jawara dan punggawa kerajaan. Selain itu, Ujungan juga menjadi ritual Ngagayuh Hujan atau ritual mendatangkan hujan jika kemarau panjang . 

Kebebasan dalam petarungan Ujungan menghadirkan cerita muram karena menimbulkan banyak korban jiwa. Ada saja petarung yang melumasi rotan dengan racun mematikan. Hingga akhirnya, pamor Ujungan meredup setelah Pemerintah Kolonial Belanda melarang pertarungan tersebut. 

Namun, semangat dan kegemaran masyarakat memainkan Ujungan tidak pernah padam. Untuk mencegah korban jiwa, aturan Ujungan diperketat. Pertama, petarung hanya boleh memukul sebanyak tiga kali. Kedua, sasaran pukulan hanya betis bagian belakang. Ketiga, petarung dikelompokan berdasarkan usia yakni tua, menengah, pemuda, dan anak-anak.

Selain itu, petarung juga harus menggunakan alat pengaman sejenis helm penutup kepala dari bahan-bahan empuk. Ada yang menamakan alat pengaman kepala itu dengan sebutan balakutak atau teregos. 

Penyederhanaan aturan itu menjadi stimulus pergantian nama Ujungan menjadi Sampyong. Dilansir kebudayaan.kemdikbud.go.id, Sampyong berasal dari bahasa Tiongkok, sam= tiga dan pyong=pukulan. Nama Sampyong terucap begitu saja oleh seorang penonton keturunan Tiongkok saat menyaksikan pertarungan.

Setelah berganti nama, seni tarung adu pukul itu berlangsung di Cibodas Kecamatan Majalengka pada 1960. Masyarakat menikmati kesenian Sampyong.

Adapun tokoh-tokoh yang berjasa mengembangkan seni Sampyong yakni Sanen (Almarhum), Abah Lewo, Mang Kiyun, Mang Karta, K. Almawi, Baron, Komar, Anah, Emin. Berkat mereka, pamor Sampyong kembali meletup-meletup dan menyebar ke berbagai daerah. 


Rayakan Kebersamaan

Kesenian Sampyong mengandung banyak pesan maupun nilai filosofi. Salah satunya adalah memperkuat persatuan masyarakat. Nilai tersebut terlihat dari semangat gotong royong dalam persiapan permainan, etika bermain yang tinggi dengan penekanan pada kejujuran, dan kemampuan merangkul perbedaan melalui kerja sama antara kelompok yang berbeda. 

Sampyong juga menekankan bahwa persatuan dapat diperkuat dengan nilai-nilai seperti gotong royong, etika, dan penghargaan terhadap keberagaman. Meski saling berhadapan dan memukul, petarung menjunjung tinggi peraturan dan sportivitas. 

Bagi Pemda Kabupaten Majalengka, Sampyong merupakan harta budaya yang berharga dan harus dilestarikan. Upaya pelestarian Sampyong dapat melibatkan pendidikan generasi muda, pengarsipan sejarah dan permainan, promosi melalui pameran dan festival, serta pelatihan dan workshop untuk melestarikan teknik dan etika bermain tradisional. 

Dengan upaya pelestarian yang tepat, Pemda Kabupaten Majalengka berupaya memastikan Sampyong terus menjadi simbol persatuan di Majalengka dan di seluruh Indonesia.

"Kami juga mendorong pengembangan kesenian Sampyong melalui pembentukan sanggar atau padepokan, memberikan kesempatan yang lebih banyak lagi kepada masyarakat untuk mengekspresikan kegiatan seni Sampyong, serta mendorong upaya kajian dan penelitian oleh kalangan akademis," ucap Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Majalengka Ida Heriyani.

Kami ingin kesenian Sampyong tetap ada dan menjadi identitas daerah. Selanjutnya, ke depan kesenian ini juga menjadi atraksi atau daya tarik bagi penyelengaraan pariwisata di Kabupaten Majalengka," imbuhnya. 

Keberadaan kesenian Sampyong akan selalu menjadi pengingat bahwa perbedaan bukan alasan untuk menjatuhkan, pertarungan harus tetap menjunjung tinggi peraturan, kejujuran menjadi hal krusial dalam kehidupan, serta kebersamaan dan persatuan harus dirawat dengan sebaik-baiknya, sekuat-kuatnya.

Post a Comment

0 Comments