Mengenal Karinding Lebih Dekat, Salah Satu Warisan Budaya Takbenda Indonesia

 

infomjlk.id - Kekayaan dan keanekaragaman waditra Sunda menjadi daya tarik tersendiri bagi para penggiat musik dimanapun mereka berada. Tak terkecuali salah satunya adalah Karinding. Karinding merupakan alat musik tradisional Sunda yang terbuat dari bahan pelepah aren atau bambu, yang dimainkan dengan cara dipukul (tabuhan ringan 'berpola' menggunakan telunjuk) sambil ditempelkan ke bibir. Secara fisik, Karinding umumnya berukuran antara 10 cm x 2 cm serta memiliki bentuk yang unik dan sederhana dengan tiga bagian ruas yang dimilikinya. Ruas pertama adalah panyekeul/genggaman, ruas kedua adalah cecet ucing (bagian jarum tempat keluarnya nada) dan yang ketiga adalah panenggeul/pemukul. Jika bagian panenggeul dipukul, bagian jarum akan bergetar dan ketika dirapatkan ke rongga mulut akan menghasilkan bunyi yang khas. Bunyi tersebut diatur berdasarkan bentuk rongga mulut, kedalaman resonansi, dan hembusan serta tarikan napas.

Karinding pada dasarnya termasuk ke dalam jenis alat musik lamelafon atau idiofon, yang mengklasifikasi jenisnya berdasarkan cara pembuatan dan cara memainkannya. Hal tersebut tentu juga mengacu pada nada atau pirigan dalam memainkan Karinding yang mana secara konvensional memiliki 4 jenis pirigan, yaitu: tonggeret, gogondangan, rereogan, dan iring-iringan. Secara bahasa, nama Karinding terdiri dari kata Ka Ra Da Hyang yang berarti "dengan diiringi oleh doa sang Maha Kuasa" dalam Bahasa Sunda. Namun, ada pula yang mengartikannya sebagai Ka=Sumber dan Rinding= Bunyi, yang berarti Karinding adalah sumber bunyi.

Karinding sendiri telah ditetapkan menjadi salah satu Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia pada tahun 2021 lalu . Warisan Budaya Takbenda merupakan "budaya hidup" yang berisi unsur filosofis dari tradisi masyarakat dan masih diturunkan dari generasi ke generasi. Sebagai "budaya hidup" kini Karinding dapat ditelusuri secara pasti sejarah dan perkembangannya melalui berbagai sumber literatur yang beredar dari hasil riset para penggiat Karinding. Satu diantaranya yang lengkap dan tersebar luas adalah buku Sejarah Karinding Priangan yang ditulis oleh Kimung. Buku ini memuat secara lengkap berbagai kisah sejarah Karinding yang ada di Priangan dan Banten. Kisahnya dituliskan sejak kemunculannya dalam naskah-naskah kuno, foklor-foklor yang tersebar di berbagai daerah di Priangan dan Banten; hasil-hasil perekaman pertama Karinding tahun 1893, 1920an, 1968, 1970an, 1980, 1990an dan 2000an; hingga bangkit kembali secara massal melalui hadirnya Giri Kerenceng dan Karinding Attack pada saat itu.

Baraya sekalian, dalam perkembangannya Karinding bermula sebagai sabuah alat pengusir rasa bosan para petani ketika menunggu sawah garapannya. Fungsi ini yang kemudian diketahui bermanfaat untuk mengusir serangga dan binatang sejenis hama, sebab suara yang dihasilkan karinding memiliki tingkatan rendah–rendah decible yang biasa kita sebut ultrasonik. Selain sebagai alat musik pertanian, Karinding juga difungsikan sebagai alat ritual yang dimainkan dalam berbagai acara. Biasanya permainan Karinding dibawakan secara rampak dan diikuti alat musik pendukung guna mengiringi pembacaan rajah atau doa. Bagi kalangan pemuda di tatar Sunda, Karinding juga populer sebagai alat musik pergaulan. Selain itu, di Banten, Karinding juga dimainkan sebagai alat musik untuk permainan anak-anak. Hingga pada perkembangan berikutnya, Karinding memiliki fungsi sosial yaitu sebagai salah satu bagian dari kekayaan waditra atau alat musik tradisional masyarakat Sunda.

Perlu diketahui, bahwa di wilayah lain di Indonesia sebenarnya terdapat alat musik serupa Karinding yang tersebar dengan berbagai nama dan cara memainkannya yang berbeda-beda. Di antaranya adalah Riding (Cirebon), Rinding (Jawa Tengah), Genggong (Bali), Slober (Lombok), Pikon (Papua), Dunga (Sulawesi), Karindang (Kalimantan), Sagasaga (Sumatera). Lalu ada juga beberapa tempat di luar negeri yang menamainya dengan Jewsharp. Akan tetapi, Karinding dari suku Sunda memiliki perbedaan khas yang tidak dimiliki oleh alat musik sejenis di Indonesia.

Kini, secara kultural Karinding telah banyak beradaptasi dengan perkembangan zaman. Baik di ranah musik, pertunjukan, maupun penggunaannya dalam keseharian. Solidaritas sosial tercipta dengan banyaknya komunitas Karinding yang bergerak aktif dalam berbagai kegiatan kesenian dan kebudayaan. Tujuannya jelas melestarikan Karinding demi terjaganya eksistensi dan konsistensinya saat ini.

Ikhsan Noer Fauzi

Post a Comment

0 Comments