Kisah Tujuh Tahun Merantau di Luar Majalengka

unsplash.com/cikarangmengaji

infomjlk.id - Ia minta namanya disamarkan karena suatu hal yang tak dituangnya dalam untaian kata. Atau memang bukan ihwal ina inu apapun, melainkan hanya sebatas enggan membagi nama. “Iya ah disamarkan aja. Ga perlu dibilang siapa-siapanya,” tegasnya. Ini merupakan kilasan kilat dari serangkaian keputusannya mencari penghidupan di luar Majalengka, kerap disebut merantau, atau nyaba.

Pada awal 2016, ia menyebut tujuan awalnya adalah Pabrik Epson yang berada di daerah Cikarang. Tahun-tahun itu peta perpabrikan Majalengka belum seberapa riuh, maka daerah rantau tak ubahnya salah satu jalur paling terlihat buat katrol kemakmuran. Tokoh kita ini sudah miliki bekal informasi lewat dua orang kawan semasa sekolah yang lebih dahulu “mencangkul” di sana. Sedikit banyak, mereka turut jadi inspirasi tentang kemungkinan bekerja di luar daerah.

Sebelum benar-benar berangkat ke medan cangkul, ada tarik-menarik antara ia dan kedua orangtuanya. Bagaimanapun, ia perempuan. Berseminya paham kesetaraan gender dan daya juang perempuan abad ini tidak membuat negosiasi dengan bapak-ibunya jauh lebih mudah. Lebih dari kelamin, mungkin akan selalu timbul kebimbangan buat orangtua melepas anak dari jangkauan tangannya.

Terlebih ia tak punya pengalaman tinggal jauh dan lama dari Majalengka. Sejak lahir, masa kecil dan usia sekolahnya dialokasikan di sini. Praktis seumur hidup saat itu di Majalengka. Dasar keukeuh, perlahan-lahan tokoh kita bisikkan yang ia yakini; kesempatan kerja lebih luas, pelindung diri berwujud dua kawannya tadi, dan komitmennya akan nilai-nilai yang diajarkan bapak-ibu.

Oh ya, sambil tarik-menarik itu, ia sempat bekerja di sebuah kios aksesoris/perhiasan xuping yang bercokol di lantai tiga Yogya Grand. Ia memandang pengalamannya di sini sebagai magang. “Da atuh ga lama, setahun juga nggak sampe,” tutur tokoh kita. Kesibukan ini serta pendingin ruangan mall yang bertiup tak jemu tidak juga menurunkan perhatiannya pada kesempatan di barat Jawa sana.

Hingga restu itu meluncur dari mulut bapak. Ia kabari kedua kawan lamanya; baju dan celana di lemari berpindah ke tas; cemilan-cemilan yang disiapkan ibu; tepukan kecil adik lelakinya di punggung; pandang yang seolah terakhir pada langit-langit, dinding, kerikil dan pagar rumah; dan untuk kesekian kalinya meminta doa waktu diantar bapak masuk Primajasa di Kadipaten yang terik. Ia menuju Cikarang.

“Panas sama macetnya ampun,” adalah dua kesan pertamanya di rantau.

Sempat ada tenggang dari kedatangan menuju pekerjaan baru. Dan bukan bersama Epson yang ditujunya di awal tadi, walau ia sudah layangkan lamaran dan kecemasan. Ia diberi pekerjaan oleh Yamaha Music, yang masih di Cikarang. Dalam pandangannya kedua tempat kerja itu miliki pola harian cukup identik, sesuatu yang telah dipikirkannya jika bekerja di pabrik: Jam kerja teratur, line- line, sisa waktu harian wajar untuk istirahat.

Ia menghadapinya. Semua yang lalang di batang hidungnya; Kosan sederhana berbanderol 650k; varian menu pecel-pecelan; kemacetan (tentu saja!) yang paling parah menahannya lima jam, yang terjadi kala pulang kerja dalam rute sekurang-lebihnya cagak Pasirmuncang ke bundaran Kadipaten; desas-desus mesra rekan sekerja; menjadi penyaksi romansa segitiga antar sesama temannya; dilabeli haus pujian dan pencari muka sebab mengobrol dengan seorang supervisor.

“Kalo udah gitu paling sharing sama temen aja,” Saya membayangkan kedua temannya di awal. “Atau ga nelpon, vc orangtua,” Saya bertanya apa tanggapan mereka pada situasi tegang di pekerjaannya. “Paling mereka nguatin kayak ‘ya namanya juga kerja, gapapa’ tapi ga pernah maksa untuk nerusin kalo memang udah gak nyaman banget. Kan ini juga keinginan aku sendiri.”

Di tahun 2018, hubungannya dengan Yamaha Music berakhir. Kontrak habis, tuturnya. Lantas, pulang ke rumah dan meluapkan yang ia bawa dari rantau seperti rindu dan kesuntukan bekerja. Turut melihat perpabrikan mulai menggeliat di kampung halaman. “Mulai rame Shoetown tuh kalo gak salah,”

Ia sempat menopang dagu dua-tiga bulan. Tidak secara harfiah nanggeuy gado sepenuh dua-tiga bulan itu, tentu. Melainkan sambil tolah-toleh jika ada peluang untuk kembali bekerja. Salah satu kans yang ia jajaki, dan ternyata berujung panjang, adalah pesan yang diteruskan saudaranya tentang pramuniaga retail di Jakarta. Entah tidak ada kapoknya atau memang telah menemu kecocokan dengan degup hidup di sana, ia pun berangkat lagi. Sampai saat ini.

“Flownya beda (antara di pabrik dan retail). Aku lebih nikmatin yang sekarang. Mungkin kayaknya karena lebih seneng ngadepin orang langsung. Anak-anak (rekan kerja) juga rame. Ada aja ceritanya di kerjaan sekarang tuh. Seru.” Saking serunya ia pernah dapat penghargaan di tahun 2022 dalam menawarkan item promo mingguan. Membawanya terbang ke Bali, sambangi Legian dan Nusa Penida secara cuma-cuma. Walau kemudian ia menambahkan lagi dalam nada setengah bercanda, “Pengen kerja retail yang upahnya (seperti pekerja) pabrik,”

Tujuh tahun berselang dari 2016, ia masih di sana sekarang, di perantauan. Sudah menemukan bidang pekerjaan yang ia senangi. Terus menjaga work-life balance alias keseimbangan antara hura-hura, bersedih, kebergunaan dan istirahat. Masih suka temui semacam malas untuk kembali ke rantau kala jalani jeda kecil berpulang kandang.

“Sejauh ini sih ingin tetap di sini karena udah betah sama kerjaannya. Upahnya juga mencukupi. Tapi karena aku cewek, nanti kan bakal ikut kemana suami bawa,” pungkas tokoh kita ini, seperti menerka jalan nasibnya kelak.

Raka Langit

Post a Comment

0 Comments