Sang Rentenir


infomjlk.id - Pada zaman dahulu kala hiduplah seorang raksasa yang mempunyai telinga besar. Ia tinggal di hutan belantara karena tidak ada yang mau menemaninya. Satu-satunya yang mau menemaninya adalah peri kecil yang hanya punya satu sayap di sebelah kiri. Peri itu tidak bisa terbang, hanya berjalan seperti manusia biasa. Mereka sering berbagi cerita satu sama lain dan hidup bagaikan sahabat yang saling mengerti dan melengkapi.

Ia membacakan buku cerita anak-anak sampai putrinya yang berumur lima tahun itu terlelap tidur. Setiap malam hanya itu yang bisa dilakukan untuk menidurkan anaknya. Ia memperlakukan anaknya selembut mungkin karena tidak ingin seperti dirinya yang kasar, berbadan besar, berambut panjang dan penuh tato di tubuhnya. Ia menyadari akan hal itu. Sampai ia menerima bahwa ia ditinggalkan oleh istrinya karena pekerjaannya sebagai penagih utang sang rentenir. Sekarang, hanya putri kecil miliknya karena hak asuh berhasil didapatkan. Ia pun rela melakukan apa saja demi kebahagiaan anaknya.

Suatu ketika, kerelaan itu ia tunjukan di depan orang-orang manakala anaknya dipermalukan oleh preman penagih pajak pasar. Tak terima anaknya disebut “anak tanpa ibu”, ia langsung menampar mulut preman itu. Adu jotos pun terjadi, orang-orang di sana hendak memisahkan tapi siapa yang berani menghalau dua orang yang beringas. Hingga ia sampai pada puncak emosi dan berani mengambil pisau pemotong buah lalu menggorok leher preman itu sampai darahnya muncrat ke mukanya. Semua orang melongo, anaknya pun lari ketakutan. Ia bergetar lalu berteriak pada semua orang untuk merahasiakan kejadian ini. Orang-orang pun mengiyakan dengan anggukannya. Hingga mulai hari itu mereka mencap ayah dari anak berusia lima tahun yang bernama Maya itu adalah bos preman baru.

Namun cap sebagai bos preman baru membawa petaka baginya. Kini ia mendapat pekerjaan untuk menagih utang pada seorang gembong narkoba. Tak hanya keberanian yang harus dipersiapkan tapi juga ketegaran pasalnya ia harus meninggalkan anaknya beberapa hari ke luar kota. Walaupun begitu, nyalinya tak mau ciut. Malam itu, ia mengasah pisau lipatnya kembali untuk berjaga-jaga. Putri polosnya hanya menatapnya curiga, ia memeluk ayahnya tanpa sepatah kata pun terucap. Lalu sang bos preman memangkunya dan membacakan cerita.

                                         

Pada suatu hari hiduplah seorang gadis kecil di sebuah istana nan megah. Ia memiliki segalanya, boneka, permen coklat yang banyak dan baju putri yang berkilau. Ke mana-mana ia selalu ditemani kuda poni yang punya sayap. Ia berkeliling dunia, menembus awan dan pelangi.

Lalu putrinya berujar, “Ayah kalau pulang kerja aku mau dibelikan boneka kuda poni !!”. Sang ayah hanya mengangguk lalu membawa putrinya ke kasur untuk menidurkannya. Kini malam seolah berlalu dengan cepat namun ia tak bisa tidur. Dalam hati ia menggerutu karena kemilau fajar akan muncul dalam dua setengah jam lagi. Pura-pura ia tak menghiraukan waktu untuk sejenak memandang anak semata wayangnya, rupa-rupanya ia teringat wajah sang istri. Namun ia harus melepas rasa itu untuk bisa tegar menghadapi hari.

Dalam kerentanan rasa itu, ia menghadapkan mukanya pada kaca yang buram. Membulatkan tekad demi sang buah hati. Ia hanya menitipkan bekal tak seberapa kepada tetangganya. Namun mereka tentu bukanlah pengasuh pribadinya, hanya akan memberikan uang jika Maya memintanya. Hal seperti ini sudah menjadi kebiasaan setelah sang ibu meninggalkan Maya sekitar usia tiga tahun. Tetangga hanya mengelus dada jika Maya merengek dan menangis tanpa alasan karena mereka tak bisa berbuat apa-apa.

Kini, hari penagihan dimulai. Ia berjalan dengan sebuah petunjuk karena tempat yang dituju tentulah tersembunyi. Rumah itu dikerumuni pohon-pohon tinggi dengan anjing penjaga yang menggonggong setiap saat. Namun ia dipersilahkan masuk rumah itu, seolah para penjaga sudah tahu apa yang dimaksud. Di luar rumah para penjaga tak seperti satpam biasa. Mereka membawa senjata di sabuknya. Anjing-anjing di rantai dengan pengunci supaya mereka bisa dilepaskan manakala target berlari dengan kencang. Lalu, setelah sekitar 20 menit berlalu, para penjaga mendengar bos mereka berteriak. Anjing-anjing
menggonggong dan tangan-tangan mereka bergetar. Kemudian, dor... bunyi letusan senapan terdengar. Satu penjaga masuk untuk memeriksa keadaan namun tiba-tiba sang preman, ayah Maya itu berlari dengan luka tembak di kaki. Ia kemudian dicegat, dihalangi ke luar. Air liur anjing-anjing itu menetas mencium bau darah yang terus mengucur. Ia berusaha ke luar, lalu akhirnya berlari dan berlari terus menjauh.

Sayangnya ia meninggalkan jejak. Ia dikejar oleh anjing-anjing yang lapar. Darah terus berceceran sepanjang jalan. Keringat dingin ia rasakan sekarang. Dalam terengah kini pikirannya membuncah tak beraturan, terkadang tergambar jelas wajah putrinya dan terkadang pula tergambar jelas orang yang telah dibunuhnya. Kini, rasa sesak di dada dan letih membuatnya harus berhenti di tepi jembatan. Matanya mulai buram dan menguning namun saat ini ia harus berhadapan dengan dua anjing sekarat dan tiga penjaga sialan yang membawa pistol. Lalu, ia mengeluarkan pisau lipat itu namun ia menjatuhkannya. Ia angkat kedua tangannya. Kaku, tak bergerak lagi. Satu penjaga mendekat, kini sang ayah Maya menemukan kesempatan untuk meninjunya kuat-kuat. Jadilah tersungkur, namun dari arah kiri ia di dorong dan dijambak rambutnya. Ia kehilangan arah pada tepi jembatan itu. Akhirnya, ia oleng dan tercebur dalam derasnya air sungai.

Tiga hari berlalu. Ia tak sadarkan diri setelah tenggelam selama satu malam dan diketemukan terapung oleh warga sekitar pada pagi harinya. Kini ia terbaring di sebuah rumah sakit. Lalu pada malam hari itu, ia merasakan kegerahan yang menjadi-jadi. Ia berteriak kencang dan pasien lain pun terbangun. Kemudian ia berkata, “ah... beruntungnya saya, masih hidup dalam keadaan utuh”. Akhirnya perawat mendatanginya, ia menggunakan masker dan baju pelindung yang tampak gerah, lalu perawat berkata “Bapak, perlu diketahui bahwa sekarang Bapak dalam masa perawatan intensif, Bapak positif covid-19, mohon bersabar”. Mendengar hal itu sang preman lalu berteriak lagi, “tidak mungkin !!” dan ia terus menyangkalnya, “saya baru saja berkata beruntung tapi sekarang nasib saya tidak beruntung”
Ia terus merenung setelah apa yang terjadi dan masih menyangkal bahwa ini hanyalah lelucon belaka. Dalam lamunannya kini, pikirannya seolah ditarik mundur bersama kenangan laknat yang tak bisa ia terima.

Lalu, sampailah ia pada kenangan bersama gembong narkoba di rumah itu. Ia mempertanyakan, apakah betul bahwa ia telah terjangkit virus corona ini karena pertemuan dengannya. Ia terus mengingat-ingat dan betul saja bahwa ia melihat gembong itu bersin yang ditutupi oleh tangannya lalu ia bersalaman erat seolah semua terlihat baik-baik saja. Napasnya memburu, “gembong baji**an !!!!!” ia berteriak sekeras mungkin. Pasien lain pun terbelalak dan tampak menggerutu. Lalu, dalam luapan emosi itu, ia mengucap janji apabila ia dapat sembuh ia tidak akan bekerja sebagai penagih utang rentenir lagi.

Hari demi hari ia jalani dengan ratapan. Ia berharap belas kasih Tuhan terus menyertainya. Seolah hidupnya kini sebagai titik terendah yang pernah dirasa. Dalam getir nadirnya, ia hanya seorang diri. Jauh dari anak dan keluarga. Pasien yang lain telah dijemput pulang oleh Tuhan terlebih dahulu. Kini tangannya semakin bergetar, mulutnya meracau apalagi jika teringat pada anaknya yang ingin sebuah boneka. Lalu dokter pun akhirnya mendatanginya, ia mengangguk pelan dan tersenyum, “Bapak sudah boleh pulang, sudah sehat sekarang Pak”. Sang preman itu terkejut, terkaget-kaget lalu berdiri kegirangan.

Akhirnya sore hari itu ia pulang ke rumah dengan boneka di tangannya. Pelukan hangat dari anaknya menjadi obat rindu. Ia pun seolah menjelma menjadi manusia baru tanpa rambut gondrong. Ia menyalami tetangganya dan mengucapkan terima kasih telah mengasuh anaknya. Kini, waktu malam telah tiba. Putrinya masih asyik bermain dengan bonekanya sedangkan ia duduk santai ditemani tontonan tv. Namun tiba-tiba pewarta berita melaporkan bahwa seorang gembong narkoba telah meninggal karena Covid-19. Ia lalu menarik napas kuat-kuat lalu menghembuskannya dengan perasan lega. Ia memangku anaknya dan
membacakan cerita kembali.

Pada akhirnya sang raksasa itu menemukan pujaan hatinya. Seorang putri dari kayangan yang baik hati dan cantik jelita. Mereka lalu menikah dan hidup di sebuah ladang dengan kuda poni dan sekumpulan peri yang menyediakan makanan enak dan minuman segar. Mereka hidup bahagia sampai akhir hayatnya.

Radc

Post a Comment

0 Comments