Makhluk Tuhan Kesepian

infomjlk.id - Hidupku, melebihi semua orang yang pernah kutemui, banyak tercurah dalam kesendirian dan perjalanan. Kenapa begitu, atau bagaimana jadi begitu, aku pun tak mengerti; namun begitulah. Selama 15 tahun, di samping satu interval terpisah, aku menjalani kehidupan sesendiri mungkin, sepanjang kehidupan seorang manusia modern. Yang kumaksud adalah jumlah jam, hari, bulan tahun yang kuhabiskan sendiri begitu luas dan luar biasa. Dan kini aku akan mendeskripsikan pengalaman kesepian manusia seperti yang kuketahui itu. 

Ini kulakukan bukan karena kesepian yang kujalani berbeda dari apa yang orang lain alami. Malah sebaliknya. Sejauh penemuanku, kesepian bukanlah sesuatu yang langka dan mencengangkan. Bukan hal ajaib bagiku dan beberapa manusia penyendiri lainnya. Kesepian merupakan pusat dan fakta tak terbantahkan dalam eksistensi manusia. Ketika kita menengok berbagai momen, tindakan maupun pernyataan dari semua jenis manusia -tidak hanya kedukaan dan suka cita mendalam para penyair terkemuka, namun juga perasaan tidak bahagia yang hadir pada jiwa-jiwa biasa, yang mengemuka pada ungkapan nyaring berisi ejekan, kebencian, umpatan, dan cibiran abadi di telinga kita kala lewati jalanan hari-hari- kita memahami, kupikir, bahwa mereka semua didera hal yang sama. Alasan akhir keluhan mereka adalah kesepian. 

Meski pengalamanku ini tak berbeda ketimbang orang banyak, aku menduga intensitasnya melebihi rataan biasa. Ini lantas menerbitkan otoritas dari seluruh penghuni bumi lain padaku untuk tuliskan ini: Bukti pengaduan kita. Kiranya aku lebih mengetahui subjek ini di generasiku. Itu kutuliskan sebagai fakta biasa sejauh pengamatanku, walau kuakui pula terdengar arogan atau angkuh. Namun sebelum lompat pada konklusi itu, tolong pertimbangkan pula betapa aneh bertemu seorang arogan yang telah hidup lama menyendiri seperti aku. Sebab obat paling manjur atas arogansi adalah kesepian. Kami, para penyendiri, selalu diliputi perasaan ragu pada diri sendiri. Selamanya dan selamanya dalam kesepian, perasaan inferior yang memalukan naik ke permukaan dan selubungi kami dalam air bah ketakutan, keterasingan dan kesangsian, yang gerogoti kesehatan jiwa-raga kami, polusi kronis buat nafas-nafas riang. Dan beginilah paradoks abadinya: jika seseorang ingin meraih keberhasilan dalam berkreasi, ia harus gulati kesepian dalam waktu yang panjang, kemudian kesepian akan merenggut kesehatan, kepercayaan terhadap diri sendiri dan kebahagiaannya, yang juga esensial bagi proses kreatif. 

Untuk hidup menyendiri seperti yang kujalani, seseorang mesti punya kepercayaan diri seperti Tuhan, iman orang suci monastik, sekokoh bukit berbatu Gibraltar yang tak tertembus. Tanpa ini, ada kalanya apa saja, atau segalanya, semua atau tidak satu pun, insiden trivial, percakapan kasual, dapat melucuti baju zirah yang kukenakan, luput dari sergapan tanganku, melilit hati dengan kengerian membekukan, dan penuhi piringku dengan kelabunya ketidakberdayaan. Sewaktu-waktu ia seperti kilap bayangan dalam cahaya matahari. Muncul kembali di hari cerah Agustus, atau waktu aku berjalan di Brooklyn yang telanjang, yang lantas berubah jadi macam penyesalan-penyesalan kehidupan tanpa nama. Mungkin pula atmosfer mencekam itu terpanggil objek konkret; raung dan panas mesin yang melata di kota, atau pendar lelah di sudut lahan parkir, atau terjangan kencang El Train, atau laju buru-buru rombongan pengendara yang senantiasa tergesa selamanya menuju kehampaan. 

Lagi-lagi, itu mungkin hanya sebuah kalimat, sebuah tatapan, sebuah gestur. Itu mungkin datang dari ia yang dengan dingin menanggapi perkenalanmu di lapangnya Park Avenue, seolah berkata: “Kamu bukan siapa-siapa.” Atau referensi sinis dan merendahkan yang ternukil dalam kritik sebuah majalah mingguan populer. Atau surat dari seorang wanita yang tuliskan aku telah kalah, telah hancur, bakatku lenyap, seluruh upayaku adalah kepalsuan, tak berharga - sejak aku mengabaikan kebenaran, visi dan realita indah yang ia miliki. 

Sewaktu-waktu itu bermula dari hal-hal yang tidak ada; sesuatu yang tak bisa kusentuh, kulihat, kudengar atau kuingat. Begitu kabur seperti kabut dalam jiwa, di antara segenap kelaparan, dendam, dan keinginan tak tercapai sepanjang hidupku. Atau separuh memori yang hilang tentang dinginnya Minggu siang yang merah di Cambridge dan wajah-wajah kusam, sensitif nan estetik mereka, para pengajar di kelasku pada Minggu Siang di Cambridge, yang berkata jika harapan masa mudaku hanya delusi menyedihkan dan seluruh hidupku akan berujung nihil, dan cahaya merah pudar bulan Maret terpantul dari kusam wajah mereka bersama sorot yang melumpuhkan semangat mudaku seketika. 

Di bawah cahaya dan cuaca itu, dan kata-kata merendahkan yang dingin dari para pencibir, semua kegembiraan dan nyanyian hilang seperti padamnya lilin. Harapan seolah meninggalkanku selamanya, dan setiap kebenaran yang sudah kutemui berubah jadi kesalahan. Pada saat-saat seperti ini, ia yang kesepian akan merasa semua citraan tangkapan inderanya telah mengkhianati dirinya, dan tak ada yang benar-benar hidup di muka bumi kecuali mayat-mayat yang bergerak - mereka dengan hati dingin dan pandangan steril, yang selamanya abadi dalam cahaya merah pudar Minggu Maret siang. 

Semua keraguan terpendam, keputusasaan, dan kebingungan muram dari jiwa makhluk kesepian harus tahu, jika ia tak bersatu dengan imaji yang ia ciptakan sendiri, ia tak didukung oleh pemahaman lain terkecuali yang ia kumpulkan sendiri melalui penglihatan dan otaknya. Ia didukung, disemangati bukan oleh siapapun. Tak ada kata-kata manis dari penjilat. Tak ada rasa percaya selain miliknya. Dan rasa percaya ini kadang meninggalkannya sendiri, goyah dan hanya terisi dengan impotensi. Lantas, hidup seperti tidak jadi apa-apa, ia adalah puing-puing terabai, telah tersesat, patah tanpa bisa direkatkan lagi, dan pagi itu -pagi cerah menyilaukan yang menjanjikan awal baru- takkan pernah singgah lagi di bumi ini. 

Ia tahu bahwa waktu yang gelap mengalir seperti sungai. Dinding kesepian besar nan suram menjepitnya kini. Terus merapat, menjepit tanpa sisakan jalan keluar. Dan benih penyakit dalam memori memutar ratusan wajah terlupakan dan sepuluh ribu hari yang hilang, hingga hidup terasa janggal dan tidak substansial, seperti mimpi. Waktu mengalirinya seperti sungai, dan ia menanti dalam ruang kecilnya tadi seperti makhluk yang terpasung oleh mantra gelap. Dan ia mendengar sayup dunia di kejauhan, bagai melupakannya, bahwa apa yang ia miliki tak berguna ditelan laju sungai, dan hidup tidak jadi apa-apa. Semua kekuatannya lenyap, meranggas begitu saja sementara ia duduk bergulung, meringkuk di penjara kesepian. 

Hingga tiba-tiba, suatu hari, tanpa sebab yang jelas, kepercayaan dan gairah hidup datang kembali serupa air bah. Bangkit dalam dirinya bersama energi tak tampak, membuat sebentuk jendela pada dinding agung dunia. Bersamaan, kembali pula kecerahan segala yang ada di sekeliling. Setelah merasa utuh dan kembali mesra dengan dirinya, ia siap untuk terjun lagi dalam siklus kreasi. Seluruh kekuatan lama kembali padanya: yakin dengan apa yang ia tahu, dengan identitasnya, dengan apa-apa yang telah ditemuinya. Dan ia akan mengucapkan kebenaran versinya, meski seluruh dunia menolaknya; kukuh bersamanya meski sejuta kepala meneriakkan bahwa itu salah. 

Dalam momen percaya diri ini, dengan perasaan ini dalam diriku, ku beranikan diri untuk menulis apa yang kuketahui tentang Kesepian, hal yang kupahami sebaik orang lain. Aku akan menuliskannya seperti aku menulis tentang saudara tuaku, karena begitulah ia. Aku akan melukiskannya untukmu dengan keyakinan akan sosoknya hingga tak seorang pun akan meragukan kehadiran Kesepian yang senantiasa membersamai. 

                                     

Ekspresi paling tragis, indah dan puitik tentang kesepian manusia yang pernah kubaca adalah Book of Job; Sementara yang terbesar dan paling filosofis itu Ecclesiastes. Di sini aku harus menyertakan fakta bagaimana kesepian dan hal-hal tragis kehidupan dituturkan padaku sejak kecil, bagaimana saat pertama kalinya kutemui, ia membuatku terpaku dan takjub, tak yakin akan keberadaan buktinya yang tak terbantahkan di hadapanku. Namun di sanalah ia, sesolid batu, tak tergoyahkan atau terbantahkan; dan seiring tahun-tahun berlalu, penemuan kebenaran ini menjadi bagian dari struktur hidupku. 

Faktanya begini: orang kesepian, yang juga berarti orang yang tragis, adalah orang yang mencintai hidup ini begitu dalam -dengan kata lain orang yang berbahagia. Dalam pernyataan itu tak ada paradoks atau semacamnya. Kondisi satu memungkinkan kondisi lainnya hadir. Esensi tragedi manusia terletak pada kesepian, bukan konflik, tak peduli seberapa gigih teater memberikan argumennya. Dan seperti pula pada penulis tragis (“penulis tragis” berbeda dengan “penulis tragedi”. Beberapa bangsa, termasuk Romawi dan Prancis, tidak memiliki penulis tragis besar, sebab Vergil dan Racine merupakan penulis tragedi, alih-alih penulis tragis) : para penulis tragis besar -Job, Sophocles, Dante, Milton, Swift, Dostoevski- selalu menjadi orang-orang kesepian, yang darinya mereka mampu mencintai kehidupan dengan luar biasa dan kedalaman rasa gembira. Kualitas sebenarnya dan substansi akan kegembiraan manusia dapat ditemukan dalam karya-karya penulis tragis itu, sesuatu yang tak selalu hadir dalam catatan keberadaan manusia di atas bumi. Sebagai bukti, aku dapat memberikan ilustrasi:

Di masa kecilku jika ada yang menyinggung tentang Book of Job, dalam pikiran secara instan tereka gerbong panjang yang suram, abu-abu, patah dan kata-kata dalam asosiasi senada. Asumsiku, banyak dari kita yang berpikiran begitu. Karenanya timbul ungkapan “Job’s comforter,” dan “the patience of Job,” dan “the afflictions of Job,” yang merujuk orang-orang dengan luka tak terhingga dan tak tertangguhkan, mereka yang menderita dalam waktu panjang di kesunyian, yang kemuramannya tak pernah terinterupsi secarik asa. Semua asosiasi ini menyatukan imajiku akan Book of Job: muram, gelap, duka yang konstan. Pertama kali membacanya saat masih anak-anak, catatan kesengsaraan Job ini hanya dilegakan oleh humor muram dan setengah hati – jenis humor yang tidak dimaksudkan sebagai humor oleh penulis, tapi didorong oleh kejengkelan personal, yang timbul dari nalar kekanak-kanakan dan keadilan terhadap gelombang kesuraman itu sehingga memancing tawa. 

Namun pembaca dengan intelegensi dan punya pengalaman dengan buku-buku hebat akan menemukan bahwa betapa salah penggambaran itu. Book of Job, jauh dari kesan gelap dan suram, lebih dari tiap tulisan yang saya ingat, menunjukkan materi yang beragam dan tak terbatas dari puisi hebat; bahwa di jantung kesedihan abadi yang luar biasa terletak senandung kegembiraan abadi yang luar biasa pula. 

Di dalamnya tak ada keganjilan ataupun kepelikan, tapi tak terelakkan kebenarannya. Penulis tragis tahu jika kebahagiaan berakar di jantung kepedihan, bahwa rasa suka cita ditembakkan melalui benang merah kesakitan yang tiba-tiba, bahwa tusukan keinginan atas kuasa yang tak tertanggungkan terpahat lebih dalam lewat kehilangan dan kematian. Melalui penglihatan dan perasaan, yang terbaik dan terburuk dari hati manusia dapat diketahui hanya dari aspek berbeda pada hal yang sama, saling berpilin, keduanya hadir dalam jaring kehidupan yang tragis. 

Perasaan terhadap kematian dan kesepian, kesadaraan singkatnya hari-hari, dan beban besar kesedihan yang belum datang, selalu bertumbuh, tidak pernah berkurang. Ini membuat kebahagiaan lebih mulia, tragis dan sangat berharga bagi orang seperti Job. Keindahan datang dan berlalu, hilang hampir seketika dalam sentuhan pertama, tak mungkin diajak menetap atau ditahan seperti seseorang yang terjebak dalam aliran sungai. Dari rasa sakit akan kehilangan ini, dari ekstasi pahit yang singkat, kemuliaan tertinggi dalam selintas momen ini, penulis tragis mampu merangkai bait-bait bahagia. Dengan itu, ia dapat menyimpan dan menghargainya selalu. Dan bait-bait itu dipenuhi kepahitan, sebab ia sadar kegembiraan cepat berlalu, hilang begitu saja saat kita memilikinya, dan itulah mengapa ia sangat berharga, menjadi cemerlang atas apa-apa yang membatasi dan menghancurkannya. 

Ia tahu jika kebahagiaan mengeruk reputasinya dari duka, nyeri dan kesepian manusia, yang selalu menghantui seperti kepastian maut, maut yang gelap, yang suatu saat menghentikan lidah, mata dan nafas hidup kita, lengkap dengan sepasang kondisi tak terhindarkan – terlupakan dan kehampaan. Maka manusia seperti Job akan membuat nyanyian untuk duka, sebagaimana itu berarti nyanyian untuk bahagia, dan lebih unik, lebih indah dari karya yang pernah dicetuskan manusia lainnya: 

Hast thou given the horse strength? hast thou clothed his neck with thunder?

Canst thou make him afraid as a grasshopper? the glory of his nostrils is terrible.

He paweth in the valley, and rejoiceth in his strength: he goeth on to meet the armed 

men.

He mocketh at fear, and is not affrighted; neither turneth he back from the sword.

The quiver rattleth against him, the glittering spear and the shield.

He swalloweth the ground with fierceness and rage; neither believeth he that it is the 

sound of the trumpet.

He saith among the trumpets, Ha, ha; and he smelleth the battle afar off, the thunder 

of the captains, and the shouting. 

Itulah bahagia – kebahagiaan khidmat dan penuh kemenangan; kebahagiaan kekal, menawan dan keras, di mana di dalamnya penuh kedalaman dan kerendah hatian manusia yang menakjubkan, perasaan terkagum-kagum akan betapa misteriusnya alam raya. Pekik kegembiraan keluar dari bibir saat membaca baris-baris tentang kuda mulia itu, dan kegembiraan yang terasa liar dan aneh, sepi dan gelap mirip kematian, lebih agung dari kegembiraan halus orang-orang seperti Herrick dan Theocritus, meski keduanya tetaplah penyair besar. 

Book of Job dan sermon Eccleiastes, masing-masing dengan caranya sendiri, merupakan catatan terunggul tentang sejarah kesepian manusia. Demikian juga seluruh kitab Perjanjian Lama, yang secara utuh merupakan literatur paling mutakhir dan mendalam tentang kesepian manusia yang mengemuka. Sungguh menakjubkan betapa kesatuan penghayatan dan kepercayaan akan kesepian hidup terhampar di banyak buku – bagaimana ia menemukan ekspresi penuh dalam nyanyian, sajak, ramalan dan kronik dari begitu banyak manusia. Semuanya begitu beragam, begitu individual. Masing-masing mengungkapkan gambaran-gambaran baru tentang rahasia manusia dan hati paling sepi. Kesemuanya jika digabungkan mampu menghasilkan sebuah gambar kesepian yang tak tertandingi dalam kemegahan dan kebesarannya. 

Dalam kitab-kitab Pejanjian Lama -dalam Job, Ecclesiastes, dan Song of Solomon; dalam Psalms, Proverbs, dan Isaiah; dalam pujian dan ratapan; dalam senandung kemenangan dan senandung kesedihan, perbudakan dan keputusasaan; dalam dengus kesombongan dan arogansi, juga pada pengakuan dosa yang rendah hati dan penuh ketakutan; dalam peringatan, janji, dan nubuat; dalam cinta, benci, haru, kematian, kehilangan, dendam dan penyerahan diri; dalam nyanyi liar dan sukacita dan dalam kesedihan yang getir- mereka yang kesepian mampu menciptakan paduan yang membengkak dan visi penghabisan yang luar biasa tentang hidupnya. 

Seluruh kesatuan dari kontribusi tentang konsep kesepian manusia dalam Perjanjian Lama tampak lebih mengagumkan ketika membaca yang baru – Perjanjian Baru. Karena, seperti Perjanjian Lama, yang menjadi kronik atas kesepian hidup, Perjanjian Baru dengan kesatuan ajaib dan tak tergoyahkan, telah menjadi kronik atas cinta dalam hidup. Apa yang Kristus selalu ajarkan, apa yang tak pernah alpa ia sampaikan, apa yang ia katakan ratusan kali dalam ratusan cara berbeda namun selalu dengan kepercayaan yang bulat adalah: “Aku adalah anak dari Bapak, dan kalian adalah saudaraku.” Kesatuan yang mengikat kita bersama, adalah apa yang membuat seisi bumi ini keluarga, dan semua umat manusia bersaudara dan anak-anak Tuhan, adalah cinta. 

Maka, tujuan utama dari kehidupan Kristus sebenarnya untuk menghancurkan kesepian hidup dan membangun kehidupan penuh cinta di bumi ini. Bukti untuk mendukung ini jelas dan luar biasa. Sejelas ketika Kristus mengatakan “Terberkatilah mereka yang miskin; bagi mereka Kerajaan di Surga,” “Terberkatilah mereka yang berduka: sebab mereka akan dihibur,” “Berbahagialah orang yang lemah lembut; sebab bagi mereka seisi dunia ini” “Berbahagialah mereka yang lapar dan haus akan kebenaran; sebab mereka akan dipuaskan,” “Berbahagialah orang yang suci hatinya; sebab mereka akan berjumpa Tuhan” – di sini Kristus tidak memuji kualitas kerendahan hati, kesedihan, kelemahan, kebenaran, ampunan dan kemurnian sebagai sekadar nilai yang mencukupi dirinya sendiri, tapi ia menjanjikan mereka yang memiliki hal-hal itu dengan imbalan terbaik yang mungkin ditawarkan pada manusia. 

Apa imbalan itu? Ia adalah imbalan yang tidak hanya menjanjikan dunia, melainkan pula Kerajaan di Surga. Ini menerangkan bahwa mereka tidak akan hidup dan mati dalam kesepian, bahwa kesedihan mereka tidak akan terabai begitu saja, doa mereka tak terdengar, lapar dan dahaga mereka tak terpuaskan, cinta mereka tak berbalas: namun, lewat cinta, mereka dapat menghancurkan dinding kesepian selamanya; bahkan jika setan dan ketidakbenaran di muka bumi ini melumatkan mereka jadi debu, jika mereka tetap menanggung segalanya dengan lemah lembut dan penuh cinta, mereka dapat memasuki ikatan penuh kebahagiaan, persaudaraan yang berlandaskan cinta, yang tak pernah ditemukan oleh manusia manapun di bumi. 

Itulah tujuan akhir dari kehidupan Kristus, tujuan seluruh pengajarannya. Dan hal terpentingnya adalah kesepian hidup dapat dihancurkan selamanya oleh cinta. Atau itulah, setidaknya, makna yang kubaca dalam hidupnya. Beberapa tahun terakhir ini ketika aku hidup sendirian dalam waktu yang cukup lama, dan mengakrabi kesepian dengan baik, aku beberapa kali kembali dan membaca kisah hidup maupun ajarannya untuk melihat apa ada makna yang dapat kuambil untukku sendiri, sebuah jalan hidup yang mungkin lebih baik dari apa yang kutapaki saat ini. Aku membaca apa yang ia katakan, tidak dengan bingkai kesalehan atau kesucian, bukan terdorong kedosaan, penyesalan atau karena iming-iming hadiah surgawi begitu menggugahku. Tapi aku mencoba membaca kata-katanya dengan telanjang dan sesederhana, yang menurutku ia benar-benar pernah mengucapkannya, dan seperti bagaimana aku membaca kata-kata orang lain -Homer, Donne, dan Whiteman, dan penulis Eccleiastes- dan jika makna yang kububuhkan pada kata-katanya tampak dangkal atau berlebihan, kekanak-kanakan atau banal, terlalu personal atau tak berbeda dengan apa yang dipikirkan 10 juta orang lain, aku meletakkannya di sini sebagaimana aku memandangnya, merasakannya, menemukannya untuk diriku sendiri, tanpa menambah, mengurangi atau mengubah apa pun. 

Dan kini aku paham bahwa melalui jalan dan makna dari kehidupan Kristus adalah jauh, jauh lebih baik ketimbang jalan dan makna milikku, tapi aku tak bisa menjadikannya benar-benar milikku. Dan aku pikir ini berlaku untuk semua manusia kesepian lain yang telah kutemui atau yang belum kutemui – mereka si tak bernama, tak bersuara dan tak berwajah yang tinggal di bumi ini – seperti juga Job dan Everyman dan Swift. Dan Kristus sendiri, yang terus menyebarkan ajaran tentang mencintai, juga manusia kesepian sebagaimana juga yang lainnya. Namun aku tidak mengatakan bahwa ia salah karena mengajarkan tentang cinta dan persaudaraan, serta hidup dan mati dalam kesepian; tidak juga aku menilai jalan yang ia pilih adalah salah karena miliaran orang telah mengakui jalan hidupnya meski tidak mengikutinya secara langsung. 

Aku hanya mengatakan jika aku tak bisa mendaku jalannya. Dalam perjalananku, nuansa konstan dalam perjalanan seseorang bukanlah cinta, melainkan kesepian. Cinta itu sendiri bukanlah nuansa. Ia adalah bunga langka dan berharga. Terkadang menghidupi, mampu mengikis ketebalan dinding gelap kesepian dan mengisi ulang semangat kebersamaan, kekeluargaan di bumi ini, persaudaraan antar manusia. Tapi kadang ia juga membawa kita ke bibir kematian; ke dalam rengkuhan kesakitan dan kegelapan; memutilasi jiwa, menjungkir balikkan nalar. Itulah cinta bagiku. 

Bagaimana, mengapa atau lewat apa bunga itu hadir bagi kita, apakah sebagai kehidupan atau kematian, kemenangan atau kekalahan, kegembiraan atau kegilaan, tak ada siapapun di bumi yang bisa memastikan. Tapi aku tahu bahwa di akhir, selamanya di ujung perjalanan kita -makhluk tanpa hunian tetap, tanpa rumah, tanpa pintu, pengelana yang sendirian – selalu menunggu teman setia yang telah kita ketahui: Kesepian. 

Tibalah saat penolakan lama mengabur dan pengakuan lama menguat – bahwa kami yang telah mati kini bangkit kembali, kami yang tersesat ditemukan lagi, dan kami yang menggadai bakat, passion serta kepercayaan terhadap jiwa muda pada penjaga mayat tanpa raga, sampai hati kami rusak, bakat kami sia-sia, dan harapan kami lenyap, telah memenangkan kembali hidup kita dengan berdarah-darah, dalam kesendirian dan kegelapan; dan kami tahu jika segala sesuatunya akan kembali sebagaimana adanya, kami saksikan kembali, seperti pernah kami saksikan sebelumnya, citra kota yang berinar. Tersedot begitu dalam, dan berkobar jadi berlapis-lapis sinar seterang permata, menyala selama-lamanya dalam pandangan ketika kami melangkah di Jembatan itu, dengan pasang-surut ombak di sekitarnya, dan kapal-kapal besar yang berlayar. Kita melangkahi Jembatan itu. Selalu kita melangkah di jembatan itu denganmu, o kawan yang tangguh, kepadanyalah kita berkata, sebab ia tak pernah mengecewakan kita. Dengarlah: 

“Kesepian abadi di bumi lagi! Saudara gelap, kawan yang tangguh, wajah kekal dari kegelapan, dari malam, yang dengannya kuhabiskan separuh hidupku, dan dengannya pula ku akan hidup bersama hingga kematian menjelang – apa lagi yang kutakutkan selama kau di sini, bersamaku? Temanku yang heroik, saudara sedarahku, wajah dari kegelapan – bukankah kita telah menempuh jutaan jalan bersama, bukankah kita telah menyusuri malam yang buas, yang ganas bersama-sama, bukankah kita telah menyeberangi lautan berbadai sendirian, menjelajahi daratan-daratan asing dan kembali lagi untuk melangkahi malam terpanjang dan mendengar sunyinya bumi? Kita telah begitu berani dan cemerlang saat bersama, eh kawan? Kemenangan, suka cita dan kejayaan di dunia – itu akan kita raih lagi, jika kau kembali padaku bukan? Datanglah, saudaraku, dalam pengawasan malam. Datanglah padaku diam-diam dan rahasia, wahai hati kegelapan. Datanglah seperti biasa kau datang, membawaku pada kekuatan tak terkalahkan, harapan yang tak pernah mati, suka cita kemenangan dan kepercayaan diri yang akan memenuhi bumi kembali." 

diterjemahkan dari God’s Lonely Man (1930), essay karya Thomas Wolfe pada November ‘21 – Januari ‘23

Raka Langit

Post a Comment

0 Comments