Lamunan: Reel Alami yang Kita Miliki




“(a)slina ka, komo keur wayah nagog di wc tea. Bari nyeuseup pilter atawa ngegelan kuku geuning, (u)jug-(u)jug saadegan dua adegan mah ngolebat (e)ta teh,


Kamu terjaga namun sejenak, yang dimulai dari kapan entah, tidak terlibat dengan apa-apa di sekeliling. Kamu melayang. Atau tenggelam. Tinggalkan bahkan dirimu sendiri ke suatu gelombang ilusif meditatif, lubang tak berdasar yang dulu dimasuki Alice. Mungkin menuju keteracakan, mungkin pada hal yang belakangan deras terasa gerayangi angan.


Kamu sedang melamun.


Lantas teringat pantun lama dalam sebuah buku pelajaran lama:

Jangan suka makan mentimun

Mentimun itu banyak getahnya

Jangan suka duduk melamun

Melamun itu tak ada gunanya.


Beberapa peneliti mungkin mengacu pada buku pelajaran lain. Sebab mereka bilang melamun bisa juga pertajam kreativitas. Ketika melamun, otakmu beristirahat dari arus informasi real-time, menggali dokumen-dokumen yang tak kau perhatikan benar sebelumya. Mungkin hanya sebatas itu. Atau bisa pula lebih. Misalnya seperti menjadikannya turut berpaut dengan dokumen yang potensial seirama. Sebuah kemungkinan skema alternatif.


Kadang loncatannya tak seberapa jauh dari apa yang kamu hadapi saat itu. Aroma, suasana, topik pembicaraan atau alun musik bisa melontarkanmu ke luar jendela kesadaran penuh. Ingatkan kamu pada perkataan nenek ketika usiamu lima tahun, tentang simulasi sureal orang yang pernah menyakitimu datang - mengakui kesalahannya yang kamu ingat - lalu mohon maaf, atau jalan-jalan terbuka di depan buat kamu sasar esok hari nanti.


Seperti biasa ini berlangsung singkat; rata-rata manusia melamun selama 14 detik, katanya.


Selain untuk menata kembali memori dan jajaki kemungkinan di masa menjelang, melamun bisa jadi jalan pintas dari situasi yang menjemukan. Bahkan dari himpitan stres dan frustrasi. Ia hadir mirip seperti reel yang kamu geser di layer gadgetmu. Jika ingin, kamu bisa coba memasukkan musik remix dalam lamunanmu berikutnya, supaya terasa lebih reel lagi.


Barangkali diam-diam kita semua adalah pelamun. Tua-muda, pria dan wanita.


Anak-anak membawanya lebih jauh dengan bermain-main bersama khayalnya. Meursault, dalam The Stranger, mendekap erat lamunan kala tunggui hasil persidangan yang tentukan gulir nasibnya. Di sela kegiatan default harian yang diistiqamahi, seperti mencuci piring, berpakaian, menyapu atau sepanjang jalan ke tempat kerja, bukankah pikiranmu kerap singgah di sana-sini?


Ini bukanlah sebuah tulisan glorifikasi tentang melamun. Walau benar ada tahap di mana arus khayal dapat berubah candu dan membahayakan dunia riil di hadapan – silakan cari dengan kata kunci Maladaptive daydreaming. Namun dalam kadar masing-masing, dalam alokasi jendela toleransinya sendiri, agaknya kita semua memang pelamun.


Raka Langit

Post a Comment

0 Comments