Maaf-Memaafkan di Antara Kita


“Mereka yang lemah tidak akan pernah mampu memaafkan. Hanya mereka, yang tangguh, dapat melakukannya.”

M. Gandhi dalam All Men are Brothers


1

Dalam suatu rencana kunjungan ke tempatnya malam nanti, seorang kawan nitip beli gula. Saparapat ta satengah, saya bertanya walau tanpa nada bertanya. Ia pilih yang kedua dan langsung saya iyakan tanpa perlu tahu alasan kenapa setengah, bukan seperempat.


Ia seorang guru di satu sekolah negeri Majalengka. Sudah punyai anak pertama yang lahir di bulan November, satu setengah tahun lalu. Kulit putihnya dari ibu, kebulatan muka baru darinya. Anak yang lucu dan someah, yang hampir pasti tanamkan pikiran “Lucu juga ya punya debay,” dalam lahan benak mbak-mbak belum menikah. Jangankan mereka, saya juga kok.


Karena masih ada waktu enam jam lagi, maka isiannya jadi beragam. Garap laporan, membalas pesan grup Whatsapp, nyalakan lampu rumah, mandi sekaligus ganti pakaian, dengar cerita adik bungsu tentang sesi foto ijazahnya, dengar pesan ayah tentang keluarga, lalu berbuka sewajarnya.


Karena ingat ban motor perlu perhatian, saya keluar lebih awal – menyambangi tambal ban di sebelah Geprek Surabaya. Ia sebaya atau sedikit lebih muda dari saya satu dua tahun. Kedekatan usia ini bikin saya berseloroh “Asa sering kieu nambal ban teh,”. Ia melampirkan barang bukti ke telapak tangan saya sambil bilang “ieu aya kawat, a”. Habis dua puluh menit, pembakaran karet dan lima belas ribu, ban itu terasa kembali fit.


Tak langsung menuju, sebab kepikiran sekalian saja isi bensin. Di waktu segitu, ba’da isya ramadan akhir, kau bakal kesulitan temui SPBU yang lengang di Majalengka. Ini mah sekedar info aja. Siapa tahu bukan warlok dan baru berangan main ke sini, atau paling enggak semacam inside supaya makin tahu Indonesia deh. Jadi malam itu, mengantrilah saya cukup panjang. Sudah ada delapan motor yang nangkring lebih dahulu.


Dan akhirnya menuju. Melalui Jalan Kesehatan, Jalan Kehutanan, Jalan Pesantren, Cibasale, Jalan Pemuda sampai terlihat itu hitam pagar rumahnya. 19.55. Bakal leluasa mengobrol, batin saya. Mungkin tentang harian sekolahnya, mungkin tentang kenalan kami, mungkin tentang jam tidur anaknya. Hingga larut malam menjelang dan saya beranjak pamit.

“Assalamualaikum, Bu,” sambil mengetuk pintunya saya bersalam.


Terdengar jawaban dan langkah kakinya yang besar. Selot terbuka, kemudian pintu. Lengan yang berjabat dan saya masuk. Anaknya di ruang tengah, sedang bercengkerama dengan ia punya induk kala itu.

Tak berapa lama setelah saya duduk dan keluarkan tupperware tembakau, datanglah petir itu menyambar, “Aya gula teh, Ka?”

“Aaa..euuu… acan Bu, hampura poho…,”


II

Memang tidak mudah untuk memaafkan seseorang yang telah melakukan kesalahan terhadap kita, tetapi dengan itu, kita bisa melepaskan diri dari rasa sakit dan kemarahan yang kita rasakan. Membuka jalan untuk hubungan yang lebih berkualitas dengan orang tersebut.


Banyak studi yang tunjukkan korelasi positif memaafkan dengan kesehatan fisik dan mental. Dalam penelitian yang dilakukan oleh psikolog di Stanford University, para peserta yang memaafkan orang lain melaporkan tingkat stres yang lebih rendah, lebih sedikit gejala penyakit, dan lebih tinggi kepuasan hidup daripada peserta yang tidak memaafkan.


Selain itu, penelitian juga menunjukkan bahwa memaafkan dapat meningkatkan kesejahteraan emosional dan psikologis. Orang yang dapat memaafkan lebih mudah merasa bahagia dan memiliki lebih sedikit gejala depresi dan kecemasan. Memaafkan juga dapat membantu memperbaiki hubungan interpersonal dan mengurangi perasaan kesepian.


Selain dampak psikologis, penelitian juga menunjukkan bahwa memaafkan dapat memiliki dampak positif pada kesehatan fisik. Beberapa studi menemukan bahwa orang yang memaafkan memiliki tekanan darah lebih rendah, kadar stres lebih rendah, dan sistem kekebalan tubuh yang lebih kuat. Memaafkan juga dikaitkan dengan penurunan risiko penyakit jantung dan peningkatan kualitas tidur.


Saat kita memaafkan seseorang yang melakukan kesalahan atau kekhilafan terhadap kita, kita tidak hanya memberikan kesempatan kedua bagi orang tersebut, tetapi juga membebaskan diri kita dari beban emosional dan rasa sakit yang mungkin timbul akibat konflik tersebut.


III

Semoga kawan saya di awal cerita mendapatkan manfaat-manfaat tersebut dalam hidupnya selalu.


Raka Langit

Post a Comment

0 Comments